JAKARTA — Pemerintah terus menggenjot penyaluran Bantuan Subsidi Upah (BSU) tahun 2025. Hingga awal Juli, bantuan telah sampai ke 8,3 juta pekerja atau sekitar 47,98 persen dari total target 17 juta pekerja formal peserta jaminan sosial ketenagakerjaan. Untuk mempercepat pencapaian target, pemerintah menggandeng PT Pos Indonesia sebagai mitra distribusi tambahan di samping perbankan milik negara.
Program BSU tahun ini menyasar pekerja dengan gaji maksimal Rp3,5 juta atau setara upah minimum provinsi/kabupaten. Termasuk 3,4 juta guru honorer. Subsidi di berikan untuk dua bulan, yakni Juni dan Juli 2025, dengan nominal Rp300.000 per bulan yang cair sekaligus sebesar Rp600.000. Penyaluran melalui Bank Mandiri, BRI, BNI, BTN, dan BSI (untuk wilayah Aceh). Serta PT Pos Indonesia bagi penerima yang belum memiliki rekening bank negara.
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menyampaikan bahwa proses verifikasi dan validasi data penerima masih berjalan untuk 8,7 juta pekerja sisanya.
“Kami ingin BSU tepat sasaran. Proses konfirmasi rekening dan cek ulang data penting agar tidak terjadi kesalahan distribusi,” ujar Yassierli usai rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Senin (7/7/2025).
Keakuratan Data BSU Lemah
Menanggapi kekhawatiran publik soal penyalahgunaan dana BSU, termasuk isu penggunaannya untuk judi daring, Yassierli menyatakan keyakinannya bahwa mayoritas penerima akan memanfaatkannya untuk kebutuhan pokok. Hal senada di sampaikan ekonom senior INDEF, Tauhid Ahmad. Berdasarkan survei lembaganya tahun 2021, lebih dari 70 persen responden menggunakan BSU untuk kebutuhan harian seperti pangan, listrik, biaya pendidikan, dan kesehatan.
Namun, Tauhid juga menyoroti kelemahan struktural dalam pelaksanaan program, terutama terkait keakuratan data penerima.
“Risiko PHK dan perpindahan kerja membuat data dinamis. Koordinasi antara pemerintah, bank penyalur, dan Pos Indonesia juga perlu diperbaiki agar distribusi tidak lamban,” ujarnya.
Dalam laporan Labor Market Brief bertajuk “BSU Setelah Lima Tahun” rilisan LPEM Universitas Indonesia, skema BSU Indonesia berbeda dengan praktik di negara-negara maju. Jika di luar negeri bantuan subsidi upah umumnya melalui perusahaan untuk menjaga kelangsungan hubungan kerja. Di Indonesia BSU langsung ke rekening pekerja tanpa keterlibatan perusahaan.
Muhammad Hanri, peneliti LPEM UI, menilai bahwa ketergantungan penuh pada data BPJS Ketenagakerjaan menimbulkan potensi kesalahan penargetan. “Banyak pekerja formal dengan status tidak aktif, seperti cuti atau terkena penangguhan upah, bisa saja tidak terjaring dalam sistem,” katanya. Hal ini dapat menyebabkan exclusion error, di mana kelompok pekerja rentan yang semestinya berhak justru tidak mendapatkan bantuan.
Pemerintah diharapkan dapat meningkatkan ketepatan sasaran serta efisiensi distribusi BSU ke depannya. Terutama jika program ini berlanjut untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah ancaman pelemahan ekonomi dan risiko PHK yang masih menghantui.(clue)