China Tak Gentar Hadapi Tarif Trump Sebesar 125%, Perang Dagang Memanas hingga 145%

Jakarta – Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali memanas dengan saling balas pengenaan tarif impor yang semakin tinggi. Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping sama-sama mengambil langkah agresif yang menandai babak baru dalam ketegangan ekonomi dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia ini.

Mengutip dari BBC News, China menaikkan tarif impor atas barang-barang dari AS menjadi 125% pada Jumat (11/4/2025), sebagai respons atas tarif tambahan yang diberlakukan AS terhadap barang-barang China sebesar 145%. Beijing menyatakan tarif ini mulai berlaku pada Sabtu (12/4/2025).

“Tidak ada pemenang dalam perang tarif,” ujar Presiden Xi Jinping dalam pertemuan dengan Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez, (11/4/2025).

Xi juga menyerukan agar China dan Uni Eropa bersatu dalam menentang “praktik intimidasi sepihak” dari AS.

Presiden AS Donald Trump, melalui platform Truth Social, memperingatkan bahwa semua pembicaraan dengan China akan dihentikan.

“Meskipun saya sudah memperingatkan bahwa negara mana pun yang membalas AS dengan mengenakan tarif tambahan… akan segera dikenai tarif baru yang jauh lebih tinggi,” tulisnya.

Linimasa Perang Tarif Dagang AS-China

Mengutip dari CNBC Indonesia, ketegangan dimulai sejak Trump menandatangani kebijakan “America First” pada 20 Januari 2025 yang menyerukan penyelidikan terhadap defisit perdagangan tahunan AS.

Pada 1 Februari 2025, Trump mengenakan tarif 10% atas impor dari China. China membalas dengan mengenakan tarif 15% atas batu bara dan gas alam cair AS serta kontrol ekspor atas 25 jenis logam tanah jarang.

Selanjutnya, Trump terus menaikkan tarif hingga mencapai 125% pada 9 April 2025. China merespons dengan mengenakan tarif yang sama terhadap barang-barang AS, dan pada 11 April menaikkannya menjadi 125%.

Dampak dan Strategi Kedua Negara

Foto : tribunnews

Tarif ini memiliki dampak luas terhadap perekonomian global. Mary Lovely, pakar perdagangan dari Peterson Institute di Washington DC.

“Apa yang kita lihat adalah permainan siapa yang dapat menanggung lebih banyak rasa sakit. Kita telah berhenti berbicara tentang rasa untung,” kata Mary, dikutip dari BBC News.

China tampaknya siap menghadapi tekanan, meski ekonominya tengah mengalami perlambatan. Pemerintah China telah mengambil sejumlah langkah, seperti membiarkan yuan melemah agar ekspor menjadi lebih kompetitif, serta membeli saham-saham untuk menstabilkan pasar.

Sementara itu, tarif AS terhadap barang-barang China tidak hanya berdampak pada dua negara. Tetapi juga menimbulkan efek domino ke negara-negara lain di Asia, termasuk Vietnam, Kamboja, dan Indonesia.

Tarif terhadap barang-barang dari Asia naik drastis, dengan tarif ke China mencapai 54%, ke Vietnam 46%, dan ke Indonesia 32%, sebagaimana terlapor BBC News (11/4/2025).

Negosiasi dan Ketidakpastian Global

Dalam pernyataan resmi, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Lin Jian mengatakan bahwa tindakan AS adalah bentuk “tirani perdagangan”.

“China dengan tegas menentang dan tidak akan pernah menerima praktik hegemonik dan intimidasi seperti itu,” tegas Lin seperti mengutip media pemerintah.

Deborah Elms dari Hinrich Foundation menambahkan bahwa selain tarif, kedua negara memiliki keterkaitan ekonomi yang kompleks, termasuk dalam investasi, perdagangan digital, dan aliran data.

“Jadi, mungkin situasinya tidak mungkin menjadi lebih buruk, tetapi ada banyak cara yang dapat dilakukan,” ujarnya.

Menurut Andrew Collier dari Harvard Kennedy School, tarif memperburuk masalah struktural ekonomi China yang sedang mengalami krisis properti dan pengangguran.

“Ekspor telah lama menjadi pendorong utama pertumbuhan Tiongkok. Jika ekspor terpukul, pendapatan negara pun akan terkena dampak signifikan,” jelasnya.

Tujuan Trump Masih Abu-abu

Meski banyak spekulasi beredar mengenai tujuan utama Trump, belum ada kejelasan resmi dari Gedung Putih.

Salah satu teori menyebutkan bahwa tarif tinggi ini adalah bagian dari rencana Trump untuk memaksa mitra dagang melemahkan nilai tukar dolar AS guna meningkatkan daya saing ekspor Amerika. Namun, penasihat ekonomi Trump, Stephen Miran, membantah bahwa ini adalah kebijakan resmi.

Trump sendiri menyatakan bahwa langkah ini bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri dan menekan defisit perdagangan.

“Kita punya utang US$36 triliun karena suatu alasan,” katanya, sambil menambahkan bahwa AS siap membuat kesepakatan yang adil dan menguntungkan.

Namun hingga kini, arah negosiasi masih belum pasti. China sudah menyatakan tidak akan lagi menanggapi kenaikan tarif baru dari AS. Dunia pun menyaksikan dengan cemas perkembangan terbaru ini, mengingat dampaknya terhadap perekonomian global sangat besar.(clue)

Baca juga : https://cluetoday.com/imbas-tarif-trump-rupiah-sentuh-level-terendah-rp17-000-us-di-pasar-ndf/

Follow kami : https://www.instagram.com/cluetoday_?igsh=MWU2aHg0a3g2dHlvdg==

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *