Percepat Diagnosis Malaria di Wilayah Endemis, BRIN Kembangkan Teknologi AI

JAKARTA – Untuk mendukung diagnosis penyakit tropis malaria yang masih menjadi ancaman serius di beberapa daerah di Indonesia, pemanfaatan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dalam bidang kesehatan kini sedang dikembangkan oleh BRIN. Seperti yang disampaikan oleh Anto Satriyo Nugroho, peneliti di pusat riset kecerdasan artifisial dan keamanan siber BRIN, AI memiliki potensi besar dalam mempercepat dan meningkatkan akurasi diagnosis malaria melalui analisis citra mikroskopis apusan darah.

Hal ini karena menurut Anto Satriyo Nugroho, selama ini diagnosis malaria umumnya masih dilakukan secara manual melalui pemeriksaan mikroskopis. Metode ini tidak hanya memerlukan waktu yang cukup lama, tetapi juga sangat bergantung pada tingkat keahlian dan ketelitian tenaga medis. Selain itu, tantangan seperti kelelahan, keterbatasan jumlah tenaga ahli, serta perbedaan morfologi parasit di berbagai tahap siklus hidupnya, seringkali menjadi hambatan dalam menegakkan diagnosis yang akurat.

Akhirnya, sebagai respons atas tantangan yang ada, BRIN kemudian mengembangkan sistem diagnosis berbasis kecerdasan buatan (AI) guna mendukung tenaga kesehatan dalam mendeteksi keberadaan parasit malaria. Sistem ini dirancang untuk menganalisis gambar mikroskopis dari apusan darah tipis dan tebal guna mengenali indikator infeksi.

“Tujuan utama kami adalah menciptakan sistem Computer Aided Diagnosis yang dapat mengenali status malaria secara otomatis dari citra apusan darah,” ungkap Anto Satriyo Nugroho dengan melalui keterangan tertulis pada Selasa (13/5/2025), dikutip dari tempo.co.

Selain itu, ia menyampaikan bahwa dalam proses pengembangannya, sistem ini memanfaatkan dataset yang berisi 1.388 mikrofoto apusan darah yang dikumpulkan dari berbagai wilayah endemik di Indonesia. Menurut peneliti yang memiliki latar belakang di bidang pengolahan citra dan biometrik ini, sampel tersebut mencakup berbagai jenis parasit malaria, seperti Plasmodium falciparum, P. vivax, P. malariae, dan P. ovale, serta termasuk satu kasus infeksi campuran dan satu sampel negatif.

“Data penelitian diperoleh dari berbagai daerah endemik di Indonesia, seperti Kalimantan, Papua, dan Sumba, bekerja sama dengan Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman BRIN. Berdasarkan analisis terhadap 35 mikrograf dari kasus nyata di daerah endemis Indonesia (mencakup 3.362 sel), sistem ini menunjukkan kemampuan yang signifikan dalam mengidentifikasi parasit malaria,” ungkap Anto Satriyo Nugroho yang pada saat ini menjabat sebagai Kepala PR-KAKS BRIN.

Selanjutnya, dalam pengembangan sistem diagnosis malaria berbasis kecerdasan buatan (AI), hasil pengujian awal menunjukkan kinerja yang menjanjikan.

“Sensitivitas sistem mencapai 84,37% dalam membedakan sel sehat dan terinfeksi, dengan nilai akurasi (F1-score) sebesar 80,60% dan nilai positive predictive value (PPV) sebesar 77,14% dalam mengidentifikasi spesies dan tahapan parasit,” ungkap Anto Satriyo Nugroho, dikutip dari brin.go.id.

Hal tersebut menandakan bahwa sistem ini memiliki keandalan yang baik dalam mengidentifikasi perbedaan antara sel darah yang sehat dan yang terinfeksi.

Menciptakan Kesempatan untuk Melakukan Diagnosis dari Jarak Jauh

Sistem diagnosis yang dikembangkan oleh BRIM ini dirancang agar dapat mendukung pelaksanaan survei darah massal di lapangan. Selain meningkatkan efisiensi, sistem ini juga memungkinkan diagnosis jarak jauh (remote diagnostics), sehingga sangat cocok untuk digunakan di wilayah terpencil.

“Dalam kondisi endemis, satu apusan darah bisa memerlukan pengamatan terhadap 500 hingga 1.000 eritrosit atau 200 leukosit. AI dapat mempercepat proses ini tanpa mengorbankan akurasi,” ungkap Anto Satriyo Nugroho.

Selanjutnya, diketahui bahwa pengetahuan dan pengalaman mikroskopis akan disimpan dalam sistem AI, yang dapat membantu tenaga kesehatan melalui pelatihan terbatas. Selain itu, Anto Satriyo Nugroho menekankan bahwa pengembangan AI di bidang biomedis memerlukan perhatian khusus terhadap karakteristik dataset, kualitas data, pemilihan model, serta metode evaluasi performa yang tepat. Dengan kata lain, AI tidak dapat berfungsi secara mandiri. Oleh karena itu, kolaborasi antara ahli komputasi dan peneliti biomedis menjadi hal yang sangat penting agar teknologi ini dapat diandalkan.

“Kita tidak bisa hanya mengandalkan kemampuan komputasi. Pemahaman atas konteks medis adalah kunci agar hasil diagnosis benar-benar bermanfaat bagi pasien,” ungkap Anto Satriyo Nugroho.

Kemudian, dengan potensi besar dalam meningkatkan akurasi diagnosis dan efisiensi layanan kesehatan di daerah endemis, BRIN optimis bahwa teknologi AI akan menjadi mitra strategis dalam pengendalian malaria secara nasional. BRIN juga berkomitmen untuk terus mengembangkan sistem tersebut melalui riset kolaboratif dan uji coba lapangan yang lebih menyeluruh sebagai bagian dari upaya mendukung program eliminasi malaria di Indonesia.(clue)

Baca juga : Surplus Dagang Indonesia Menurun, Hanya USD2,75 Miliar di April 2025

follow kami : https://www.instagram.com/cluetoday_?igsh=MWU2aHg0a3g2dHlvdg==

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *