JAKARTA — Ironi politik dan ekonomi kembali jadi buah bibir publik. Di satu sisi, masyarakat disuguhi pemandangan joget-joget di Kompleks Parlemen saat Sidang Tahunan MPR (16/8/2025).
Ketua MPR Ahmad Muzani buru-buru memberi penjelasan bahwa sesi itu hanyalah “relaksasi”, supaya hadirin tidak terlalu tegang mengikuti forum panjang. Namun, di mata masyarakat, justifikasi itu tak cukup menutupi rasa janggal.
Bagaimanapun, panggung tertinggi kenegaraan seolah berubah jadi ruang hiburan. Sementara di luar gedung rakyat masih bergulat dengan harga-harga dan kebijakan yang serba ketat.

Take Home Pay DPR Capai Rp100 Juta Perbulan
Tak lama berselang, kabar lain menambah rasa getir, tunjangan anggota DPR resmi naik. Wakil Ketua DPR Adies Kadir menegaskan gaji pokok tidak berubah, tetapi penyesuaian terjadi pada sejumlah tunjangan. Ia bahkan merinci tunjangan beras yang nilainya sekitar Rp12 juta dan tunjangan bensin Rp7 juta.
“Jadi bukan gaji, tapi tunjangan yang disesuaikan,” ujarnya, mengutip detikNews.
TB Hasanuddin, anggota Komisi I DPR RI menyebut bahwa mereka tidak mendapatkan rumah dinas, sehingga patut menerima tunjangan rumah sebesar Rp50 juta setiap bulannya.
“Kan tidak dapat rumah. Dapat rumah itu tambah Rp50 juta. Jadi Take home pay itu lebih dari Rp100 (juta), so what gitu loh,” katanya mengutip dari Narasi.
Sementara itu, Tempo menuliskan daftar tunjangan lain yang ikut naik, mulai dari perumahan, listrik, komunikasi, hingga kebutuhan penunjang lain. Dengan seluruh komponen itu, take home pay anggota DPR kini di perkirakan bisa menembus Rp80–100 juta per bulan, tergantung posisi dan rapelan tunjangan.
Kemenkeu : Gaji Guru dan Dosen Masih Jadi Tantangan Negara
Kontras kian terasa ketika masyarakat membandingkan nama Sri Mulyani terseret potongan video viral beberapa waktu lalu. Narasi yang beredar menyebut Menkeu melabeli guru sebagai “beban negara”.
Sri Mulyani langsung membantah, menegaskan itu hoaks hasil manipulasi video. Ia menyebut hal itu sebagai salah satu tantangan keuangan negara, sembari mempertanyakan apakah seluruh pembiayaan pendidikan harus selalu ditanggung APBN, ataukah ada ruang partisipasi masyarakat.
“Banyak keluhan, gaji guru dan dosen kecil. Ini salah satu tantangan bagi keuangan negara. Apakah semuanya harus keuangan negara, ataukah ada partisipasi masyarakat?,” katanya.
Meski Kemenkeu menyebut potongan video tersebut hoaks, namun ia tak menjelaskan substansinya.
“Potongan video yang beredar yang menampilkan seolah-olah saya menyatakan guru sebagai beban negara adalah HOAX. Faktanya, saya tidak pernah menyatakan bahwa Guru sebagai Beban Negara,” tulis Sri Mulyani dalam Instagram pribadinya.
Ia menyebut bahwa video tersebut merupakan potongan video tidak utuh dan hasil deepfake. Ia juga menutup kolom komentarnya dalam postingan tersebut.
“Video tersebut adalah hasil deepfake dan potongan tidak utuh dan pidato saya dalam forum Konferensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di ITB 7 Agustus lalu,” lanjutnya.

Pernyataan itu sahih, tetapi konteksnya jelas berbeda jauh dari narasi palsu yang sempat telanjur menyebar. Faktanya, ia menyebut gaji guru dan dosen masih menjadi tantangan keuangan negara.
Gaji Guru dan Dosen
Padahal, jika menengok nominal, kesenjangan itu sangat kentara. Berdasarkan PP No. 5/2024, seorang guru PNS golongan III/a dengan masa kerja nol tahun menerima Rp2,7 juta per bulan sebagai gaji pokok. Setelah puluhan tahun, gajinya hanya naik ke kisaran Rp4–5 juta. Tambahan tunjangan profesi (setara satu kali gaji pokok) memang bisa menggandakan angka itu, tapi pencairannya kerap terlambat dan tidak selalu penuh.
Untuk dosen, Perpres No. 19/2025 menetapkan tunjangan kinerja per jabatan akademik: Asisten Ahli sekitar Rp5 juta, Lektor Rp7,7 juta, Lektor Kepala Rp10,9 juta, hingga Profesor Rp19 juta per bulan. Angka tersebut masih ditambah gaji pokok ASN yang rata-rata Rp3–6 juta. Sehingga total penghasilan dosen senior bisa mencapai Rp15–25 juta jauh lebih baik dari guru, tetapi tetap kontras dibandingkan DPR.
Di sinilah ironi itu bertemu. Di ruang parlemen, joget bisa dibela sebagai relaksasi. Tunjangan pejabat naik dengan berbagai alasan penyesuaian.
Sementara di ruang kelas dan ruang kuliah, guru dan dosen masih harus menerima gaji awal karier yang bahkan tak sampai Rp3 juta per bulan. Ketika perdebatan publik justru dipancing oleh narasi tentang “guru beban negara”, rasa ketidakadilan makin kuat. Profesi yang jadi penopang masa depan bangsa seolah selalu jadi objek kompromi, bukan prioritas.
Siapa yang Membebani Negara?
Persoalan ini bukan sekadar soal angka, tetapi soal arah prioritas dan rasa keadilan. Selama gestur simbolik di puncak kekuasaan dari joget sampai tunjangan, lebih cepat mengemuka dibandingkan keberpihakan nyata pada pendidikan, jurang kepercayaan publik kian melebar.
Sebenarnya siapa yang jadi beban negara?
Baca juga : Prabowo Tegaskan Komitmen Bersih-Bersih Kabinet: “Yang Tidak Mau Kerja, Saya Singkirkan”