Grup Barito Tembus Market Cap Rp 2.500 T, Geser Dominasi Danantara di Pasar Modal

JAKARTA— Bursa Efek Indonesia kembali diguncang oleh pergeseran besar dalam peta kapitalisasi pasar. Grup Barito milik taipan Prajogo Pangestu resmi menembus market capitalization Rp 2.500 triliun, sekaligus menggusur Danantara Group, konglomerasi energi yang selama beberapa tahun terakhir mendominasi bursa.

Lonjakan valuasi Barito bukan sekadar angka, tetapi mencerminkan transformasi strategi bisnis yang lebih agresif dan terukur daripada pesaing utamanya, Danantara.

Lompatan Grup Barito

Dalam dua tahun terakhir, Grup Barito tampil sangat ofensif. Melalui PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA), Barito bersama Glencore mengakuisisi aset strategis Shell di Singapura, mencakup kilang minyak Bukom dengan kapasitas 237 ribu barel per hari dan pabrik petrokimia Jurong Island berkapasitas 1 juta ton per tahun.

Langkah internasional itu di susul IPO anak usaha infrastruktur, PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA), yang oversubscribed hingga 500 kali. Dari aksi korporasi ini, Barito menghimpun Rp 2,37 triliun untuk membangun infrastruktur listrik, air bersih, dan pelabuhan di kawasan industri Cilegon.

Di sektor energi baru terbarukan, PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) menggarap lima proyek geothermal dengan total investasi US$ 365 juta. Tak heran jika kapitalisasi BREN melonjak hingga Rp 1.234 triliun pada awal Agustus 2025. Sementara itu, Barito Pacific (BRPT) sendiri berada di kisaran Rp 220 triliun.

Jika di gabungkan dengan TPIA, PTRO, dan CUAN, valuasi emiten Barito kini menembus Rp 2.500 triliun, mengokohkan posisi sebagai salah satu konglomerasi terbesar di Asia Tenggara.

Danantara: Tertinggal dalam Laju Bursa

Sebaliknya, Danantara Group, yang sempat di gadang sebagai jawara kapitalisasi pasar di sektor energi, kini harus merelakan tahtanya. Berdasarkan data Bursa per Juli 2025, total market cap Danantara hanya berkisar Rp 1.950 triliun.

Meski masih mengandalkan portofolio besar di batubara, migas, dan perkebunan, Danantara dinilai gagal melakukan diversifikasi yang cukup cepat menuju sektor energi baru terbarukan.

Sebagian besar ekspansi mereka masih bertumpu pada sumber daya fosil, yang mulai di tinggalkan oleh investor global karena faktor ESG (environment, social, governance).

Saham utama Danantara juga cenderung stagnan dalam dua kuartal terakhir. Tekanan harga komoditas global dan meningkatnya biaya produksi membuat valuasi mereka tidak mampu menyaingi lonjakan Barito.

IPO CDIA Jadi Kunci Penguatan Barito

Menurut David Kosasih, Direktur Keuangan Barito Pacific, IPO CDIA menjadi salah satu kunci penguatan Barito.

“Dengan dukungan pasar, kami bisa mempercepat pembangunan infrastruktur nasional. Ekspansi Barito bukan hanya soal valuasi, tetapi juga kontribusi langsung pada kebutuhan energi dan industri Indonesia.” Ungkapnya.

Sementara itu, analis pasar modal Arif Wibowo dari Mandiri Sekuritas menilai, perbedaan strategi inilah yang membuat Barito melesat meninggalkan Danantara.

“Investor global kini memberi premi pada perusahaan yang berani masuk ke energi terbarukan. Barito sudah ke arah sana, sedangkan Danantara masih terlalu bertumpu pada batubara. Ini membuat valuasi Barito lebih atraktif.” Jelas Arif.

Barito mendiversifikasi bisnisnya ke sektor petrokimia, infrastruktur, dan energi terbarukan. Sementara Danantara masih sangat bergantung pada batubara dan migas. Hal ini membuat risiko valuasi Danantara lebih besar saat harga komoditas turun.

Sentimen investor juga dipegaruhi IPO CDIA yang oversubscribed 500 kali menjadi bukti kepercayaan investor pada Barito. Bandingkan dengan aksi korporasi Danantara yang relatif dingin disambut pasar.

Dengan kapitalisasi Rp 2.500 triliun, Barito kini menyumbang hampir 20% dari total market cap Bursa Efek Indonesia. Sementara Danantara, meski masih besar, kontribusinya menurun seiring melambatnya ekspansi.

Keunggulan Barito bukan hanya soal valuasi sesaat. Masuknya ke proyek geothermal dan energi hijau membuat prospeknya lebih sesuai dengan agenda global transisi energi, sesuatu yang belum mampu dikejar Danantara.

Dengan kapitalisasi pasar Rp 2.500 triliun, Grup Barito tidak hanya melampaui Danantara, tetapi juga mengubah wajah persaingan di pasar modal Indonesia. Diversifikasi agresif, keberhasilan IPO, serta dorongan ke energi terbarukan menjadikan Barito magnet baru bagi investor.

Sementara itu, Danantara kini menghadapi tantangan serius: apakah akan terus bertahan di sektor fosil, atau bertransformasi seperti Barito untuk merebut kembali perhatian pasar.
Era dominasi Danantara telah bergeser. Kini, Bursa Efek Indonesia memasuki babak baru: era Prajogo Pangestu dan Grup Barito. (clue)

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *