Kebijakan Serampangan, Rakyat Menunggu di Persimpangan

Ditulis oleh Muhammad Riefky Alfathan, Ketua DPC GMNI Kabupaten Subang 

Agustus 2025 menghadirkan ironi. Di saat bangsa ini merayakan kemerdekaan, rakyat justru turun ke jalan, mengangkat poster dan bersuara lantang: “Kebijakan yang serampangan, rakyat menunggu di persimpangan.”

Serampangan – itulah kata kunci yang paling tepat menggambarkan arah negara hari ini. Kebijakan berganti secepat cuaca, tanpa pijakan yang kokoh, tanpa keberpihakan yang jelas. Subsidi dicabut lalu dipasang kembali. 

Aturan pendidikan diubah seolah anak didik hanyalah kelinci percobaan. Proyek infrastruktur diagungkan sebagai pencapaian, namun sering kali menyingkirkan ruang hidup rakyat kecil. 

Apakah ini kebijakan, atau sekadar eksperimen besar yang menjadikan rakyat sebagai korbannya?

Rakyat kini menunggu di persimpangan: antara harapan dan keputusasaan. Antara keyakinan bahwa negara masih bisa diselamatkan, atau menyerah pada kenyataan bahwa kekuasaan hanyalah alat segelintir elit untuk mengamankan kepentingannya. 

Harga bahan pokok kian mencekik, lapangan kerja tak kunjung pasti, sementara demokrasi diperlakukan bak formalitas tahunan.

Aksi pada Agustus 2025 bukan sekadar protes jalanan. Itu alarm keras bahwa bangsa ini sedang kehilangan arah. Pemerintah tampak sibuk membangun citra, namun lupa melakukan evaluasi diri. Visi besar terus digaungkan, tapi dapur rakyat justru tidak lagi berasap.

Tagline “17+8 Tuntutan” kini merebak di kalangan masyarakat dan aktivis: 17 tuntutan jangka pendek, dan 8 tuntutan jangka panjang. 

Beberapa kritik utama yang disampaikan kepada pemerintah antara lain:

1. Menegakkan pemisahan kekuasaan (legislatif, eksekutif, yudikatif) tanpa intervensi atau pelemahan.

2. Mengevaluasi dan memecat anggota DPR RI yang mendiskreditkan rakyat.

3. Mendesak DPR membuat kebijakan yang pro-rakyat, bukan serampangan.

4. Mengesahkan RUU Perampasan Aset serta membersihkan kabinet, parlemen, dan peradilan dari praktik KKN.

5. Memecat menteri/wakil menteri yang merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN atau ketua umum partai politik.

6. Mencabut PP Nomor 35 Tahun 2021, merevisi UU Nomor 11 Tahun 2020 (Omnibus Law Cipta Kerja), serta mengesahkan RUU Ketenagakerjaan baru tanpa skema omnibus law.

7. Mengecam keras aparat kepolisian atas tindakan menghalangi kebebasan berpendapat dan mendesak evaluasi SOP serta pencopotan Kapolri.

8. Menjamin proses legislasi inklusif dan terbuka, dengan melibatkan publik, civil society, serta ahli hukum.

9. Memberi sanksi tegas kepada anggota DPR yang memicu kemarahan publik.

10. Mencabut tunjangan fantastis bagi pejabat tinggi negara, termasuk menteri, wakil menteri, dan komisaris BUMN.

11. Menolak kenaikan pajak yang membebani rakyat miskin serta pemangkasan anggaran pendidikan, kesehatan, dan pertahanan.

Data: Pemerintah menaikkan tarif PPN dari 11% menjadi 12% per Januari 2025. Studi Celios memperkirakan kelompok miskin menanggung tambahan pengeluaran Rp101.880/bulan (~Rp1,2 juta/tahun). Kelompok menengah bahkan terbebani Rp350.000–Rp4,2 juta/tahun.

12. Mewujudkan reforma agraria sejati dan menurunkan harga pangan.

Data: Harga beras naik dari Rp13.597/kg (Juli 2024) menjadi Rp14.301/kg (Juli 2025). Komoditas lain juga meningkat: cabai rawit +50,5%, bawang merah +2,16%, gula +5,78%, minyak goreng curah +13,06%.

13. Memperkuat KPK dan sistem hukum antikorupsi.

14. Memperkuat lembaga HAM di Indonesia.

Membangun industri nasional berbasis land reform sejati.

15. Mengusut tuntas penembakan oleh aparat.

16. Mengusut hilangnya nyawa ojol dalam aksi demonstrasi.

17. Membebaskan 3.195 aktivis yang ditahan selama demonstrasi 25–31 Agustus 2025.

Data: Polri mencatat 3.195 orang ditangkap di 15 Polda, dengan 55 orang menjadi tersangka, 387 dipulangkan, dan 2.753 masih diperiksa.

18. Negara bertanggung jawab atas 10 korban jiwa dalam demonstrasi akhir Agustus 2025.

Data: LBH–YLBHI melaporkan 10 orang meninggal, 1.042 luka-luka, dan 3.337 ditangkap. Data VOI menyebut 7 korban tewas, termasuk mahasiswa, staf DPRD, tukang becak, dan seorang pengemudi ojek online.

Persimpangan itu kini nyata. Rakyat menunggu, tapi tidak akan selamanya menunggu. Bila negara terus gagal memberi arah, rakyat bisa memilih jalannya sendiri. Sejarah sudah berulang kali membuktikan: kekuasaan yang tuli terhadap suara rakyat pada akhirnya runtuh oleh gelombang rakyat itu sendiri.

Apakah reformasi baru akan lahir? Jawabannya bisa jadi: potong generasi.

Kebijakan serampangan harus dihentikan. Jika tidak, persimpangan ini akan berubah menjadi jalan buntu—bukan hanya bagi rakyat, tetapi juga bagi masa depan bangsa.

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *