DPRD Kabupaten Cirebon Dukung Restorative Justice untuk Anak Terlibat Hukum dalam Demonstrasi

CIREBON – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Cirebon menyatakan dukungannya terhadap penerapan restorative justice dalam penyelesaian kasus hukum yang melibatkan anak di bawah umur, khususnya terkait aksi demonstrasi yang berujung penjarahan dan tindakan anarkistis pada 28 Agustus 2025 lalu.

Ketua DPRD Kabupaten Cirebon, Sophi Zulfia, menyampaikan keprihatinan mendalam atas keterlibatan anak-anak dalam aksi tersebut. Ia menilai, generasi muda seharusnya tidak terjerumus dalam tindakan yang merugikan masyarakat.

“Bagaimanapun, anak-anak ini adalah generasi penerus bangsa yang nantinya akan mengambil alih tongkat kepemimpinan, termasuk di Kabupaten Cirebon. Ini menjadi tanggung jawab kita bersama untuk membina mereka,” ujarnya, Selasa (9/9/2025).

Sophi menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah daerah, DPRD, aparat penegak hukum, dan masyarakat dalam memberikan pembinaan yang tepat bagi anak berhadapan dengan hukum (ABH). Ia menilai, pendekatan edukatif perlu diprioritaskan, meskipun tetap memperhatikan efek jera agar kejadian serupa tidak terulang.

Kapolresta Cirebon, Kombes Pol Sumarni, menjelaskan bahwa sebanyak 13 anak diamankan pascainsiden tersebut, mayoritas masih berstatus pelajar. Sebagai bentuk tanggung jawab moral dan edukatif, pihak kepolisian mengadakan program pesantren kilat khusus bagi ABH.

“Sudah ada empat angkatan yang mengikuti program pesantren kilat ABH, dengan total peserta mencapai sekitar 160 pelajar,” jelas Sumarni.

Program tersebut terancang untuk membentuk karakter, menanamkan pemahaman hukum, serta memberikan pembekalan moral dan spiritual agar anak-anak dapat memperbaiki perilaku ke depan.

Terdapat 13 ABH yang Memerlukan Restorative Justice

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI, Arifatul Choiri Fauzi, turut mengapresiasi langkah Polresta Cirebon. Dalam kunjungannya, ia meninjau langsung kondisi 13 ABH yang sedang dalam proses pembinaan.

Fauzi menegaskan, meskipun para pelaku masih di bawah usia 18 tahun, proses hukum tetap berjalan sesuai aturan. Namun, restorative justice di nilai lebih tepat untuk kasus ini.

“Restorative justice memungkinkan proses penyelesaian yang lebih berkeadilan dan berorientasi pada pemulihan, bukan semata-mata penghukuman,” ungkapnya.

Ia juga mengingatkan pentingnya peran orang tua dan sekolah dalam mencegah keterlibatan anak dalam aksi anarkistis.

“Menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak setiap warga negara, termasuk anak-anak. Namun, harus dilakukan secara tertib dan tidak disertai tindakan anarkistis,” tambahnya.

Melalui pendekatan humanis dan edukatif seperti restorative justice, masa depan anak-anak yang sempat tersandung persoalan hukum tetap bisa terselamatkan. Lebih dari sekadar penegakan hukum, langkah ini merupakan investasi jangka panjang untuk pembangunan bangsa dan daerah.(adv/clue)

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *