Redam Bandwagon Syndrome, Prodi BK IKIP Siliwangi Gelar Pelatihan Berpikir Kritis

Bandung — Fenomena bandwagon syndrome atau kecenderungan remaja mengikuti tren tanpa mempertimbangkan kebenaran maupun dampaknya marak terjadi pada kehidupan siswa di era digital. 

Siswa mengikuti sikap, perilaku, atau pilihan tertentu hanya karena banyak orang lain yang melakukannya, bukan karena pertimbangan rasional atau keyakinan pribadi. 

Menyikapi fenomena tersebut, Program Studi Bimbingan dan Konseling IKIP Siliwangi melalui tim yang terdiri dari dosen dan mahasiswa bekerja sama dengan MA Miftahurroja, Bandung, menyelenggarakan program Pemberdayaan Kemitraan Masyarakat (PKM) berupa Pelatihan Berpikir Kritis bagi siswa madrasah, Rabu (10/09/25).  

Pelatihan Berpikir Kritis ini dilaksanakan untuk memperkuat keterampilan remaja dalam menghadapi derasnya arus informasi, tekanan sosial, dan pengaruh media digital yang memunculkan perilaku ikut-ikutan. 

Ketua Tim Pengabdian, Siti Fatimah, S.Psi., M.Pd., menyampaikan bahwa pelatihan ini diharapkan dapat menumbuhkan kemampuan analisis, keberanian berpendapat, serta ketahanan mental siswa.

“Banyak remaja mengikuti tren viral hanya karena mayoritas melakukannya, tanpa memahami risikonya. Inilah yang disebut bandwagon syndrome. Melalui pelatihan ini, kami ingin membekali siswa agar lebih kritis, mandiri, dan berani mengambil keputusan berdasarkan logika, bukan sekadar ikut-ikutan,” ujar Siti Fatimah, dalam keterangan tertulis. 

Pelatihan dikemas secara interaktif melalui beragam materi yang terdiri dari sosialisasi fenomena bandwagon syndrome, pemaparan konsep berpikir kritis, hingga simulasi pengambilan keputusan dalam menghadapi tekanan sosial. 

Peserta juga dikenalkan dengan platform digital pembelajaran kritis yang dikembangkan untuk mendukung keberlanjutan program.

Pada pelatihan ini siswa menganalisis studi kasus tentang fenomena tantangan viral berbahaya di media sosial yang pernah menelan korban di Indonesia. Analisis dilakukan melalui metode diskusi dan role play dengan berlatih menimbang informasi, mengevaluasi risiko, serta melatih keberanian untuk menolak ajakan yang merugikan. 

Pelatihan ini tidak hanya menekankan peningkatan pengetahuan, tetapi juga diarahkan pada pembentukan karakter kritis, reflektif, dan resilien. Siswa diharapkan mampu menjadi agen perubahan di lingkungannya berani bersuara, mampu menolak tekanan sosial, dan tidak mudah terbawa arus tren sesaat. 

Sehingga pelatihan berpikir kritis ini sejalan dengan tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) di bidang, sekaligus mendukung pencapaian Indikator Kinerja Utama (IKU) Perguruan Tinggi dalam aspek kolaborasi, partisipasi aktif mahasiswa, dan pembelajaran di luar kampus.

Kepala MA Miftahurroja, Uus Zaenal Asikin, menyampaikan apresiasinya terhadap kegiatan ini. Menurutnya, kemampuan berpikir kritis sangat penting bagi siswa untuk menghadapi tantangan zaman.

“Melalui pelatihan ini, siswa tidak hanya mengenali bahaya bandwagon syndrome, tetapi mampu menerapkan keterampilan berpikir kritis dalam kehidupan sehari-hari,” ujar dia. 

Terakhir, program ini direncanakan secara berkelanjutan melalui pendampingan guru Bimbingan dan Konseling serta pemanfaatan platform digital sehingga manfaatnya dapat dirasakan secara luas oleh sekolah dan masyarakat.

“Kami sangat terbantu dengan adanya program ini. Siswa kami tidak hanya belajar teori, tetapi juga praktik bagaimana berpikir kritis menghadapi tren dan tekanan sosial. Ini sangat relevan dengan tantangan remaja masa kini,” pungkasnya. 

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *