SIDOARJO — Ketika debu reruntuhan masih belum sepenuhnya bersih dari bekas musala di Pondok Pesantren Al-Khoziny, tuntutan keluarga korban mulai memuncak.
Beberapa orang tua santri menyatakan keinginan tegas tanggung jawab hukum pengelola ponpes atas tragedi ambruknya bangunan Ponpes Al-Khoziny.
Perwakilan keluarga korban, Fauzi, mengatakan hubungan guru, kyai, dan orang tua santri dijaga lewat tradisi kuat. Namun, pada momen duka ini, ia menilai sudah saatnya menyisihkan tradisi tersebut demi menegakkan keadilan.
“Saya tekankan kalau memang ada pelanggaran hukum di situ, ada kelalaian manusia, ya harus diproses, siapapun itu, tidak memandang status sosial siapa. Hukum harus ditegakkan,” ujar Fauzi kepada DetikJatim.
Ia menolak bila proses hukum harus menunggu proses evakuasi atau identifikasi korban selesai. Menurutnya, dua sistem—evakuasi korban dan penyelidikan hukum—bisa berjalan paralel tanpa harus saling menghambat. Fauzi juga mempertanyakan prosedur pelaksanaan pembangunan saat musala masih terpakai.
“Berarti di situ kan ada aktivitas ngecor dan juga di bawah ada orang salat. Nah itu kan ada SOP-nya dari mana?” tambahnya.
Sikap keluarga korban ini muncul di tengah pengakuan pihak kepolisian yang mengaku akan menyelidiki unsur pidana dalam kasus ini. Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Jules Abraham Abast, menyatakan bahwa penyelidikan terhadap kemungkinan kelalaian struktural dan tanggung jawab pengelola atau kontraktor akan berjalan setelah proses evakuasi dan pembersihan puing selesai.
Namun, di sisi lain ada pula orang tua korban yang memilih untuk tidak melayangkan gugatan hukum. Sebagai contoh, Idrus, ayah dari santri Syaiful Rosi Abdillah—yang terluka parah hingga kehilangan kaki akibat reruntuhan, menyatakan penerimaan dan keikhlasan. Meski anaknya menjadi korban, Idrus menegaskan tidak akan menuntut secara hukum.
“Saya ikhlas, yang penting sekarang saya minta ada bantuan kaki palsu, karena nanti kalau kembali mondok di Al Khoziny dia tidak minder sama teman-temannya,” ujarnya kepada TagarJatim.
Tragedi Sidoarjo Ungkap Dilema Hukum, Budaya, dan Pengawasan Bangunan Pesantren.

Keputusan keluarga korban untuk menuntut atau tidak menggugat menyoroti kompleksitas budaya pesantren, hubungan antara kyai dan santri, serta tekanan sosial bagi orang tua untuk memilih pasrah dan memelihara keharmonisan di lingkungan pesantren.
Yang menjadi sorotan publik adalah kapasitas pengelola ponpes dan kontraktor dalam menjamin keamanan struktur bangunan. Jika gugatan hukum terjadi, pihak berwenang akan memeriksa izin pembangunan, standar konstruksi, material, pengawasan teknis, serta tanggung jawab pengelola.
Tragedi ambruknya musala Ponpes Al-Khoziny pada 29 September 2025 terjadi ketika ratusan santri tengah melaksanakan salat Ashar berjamaah. Hingga kini, jumlah korban tewas terkonfirmasi sebanyak 67 orang, dengan lebih dari 100 santri lainnya mengalami luka-luka.
Kini, publik dan keluarga korban menunggu agar proses hukum berjalan transparan dan adil. Jika gugatan hukum benar-benar berlangsung, kasus ini dapat menjadi preseden penting bagi pengawasan keselamatan pesantren serta mendorong reformasi regulasi agar kejadian serupa tak terulang. (clue)