Supermarket di Jakarta Mulai Sepi Pembeli, Warga Pilih Hemat di Tengah Tekanan Ekonomi

Sumber foto: detik.net

JAKARTA — Fenomena baru tengah melanda sejumlah supermarket di Jakarta. Jika dulu antrean panjang di kasir menjadi pemandangan biasa, kini suasana tampak lengang.

Banyak rak penuh barang dagangan, namun hanya sedikit trolley yang berputar di lorong-lorong toko. Warga ibu kota mulai menahan diri untuk berbelanja besar, seiring dengan meningkatnya harga kebutuhan pokok dan ketidakpastian ekonomi.

Seorang kasir di salah satu supermarket kawasan Jakarta Selatan mengaku, penurunan jumlah pengunjung sudah terasa sejak pertengahan tahun ini.

“Biasanya ramai menjelang akhir pekan, sekarang sepi. Banyak pelanggan yang bilang lagi hemat, cuma beli kebutuhan pokok saja,” ujarnya, Selasa 15 Oktober 2025.

Fenomena ini sejalan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat inflasi tahunan per September 2025 mencapai 2,9 persen, didorong oleh kenaikan harga bahan makanan dan energi. Meski masih tergolong moderat, efeknya terasa langsung di masyarakat kelas menengah ke bawah yang kini lebih selektif dalam berbelanja.

Ekonom CORE Indonesia, Piter Abdullah, menilai turunnya daya beli masyarakat menjadi faktor utama di balik sepinya supermarket.

“Pendapatan masyarakat tidak naik secepat harga barang. Akibatnya, belanja rumah tangga cenderung ditahan untuk kebutuhan yang benar-benar penting,” katanya kepada media.

Ia menambahkan, pola konsumsi masyarakat kini bergeser dari belanja konsumtif ke pengeluaran esensial seperti makanan, pendidikan, dan transportasi.

Penurunan Penjualan Ritel Modern Dipicu Peralihan ke Belanja Online

Dari sisi pelaku usaha, sejumlah pengelola supermarket mulai merasakan dampak signifikan. Menurut Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), penjualan ritel modern turun sekitar 7–10 persen dalam tiga bulan terakhir, terutama pada produk non-pangan seperti perawatan tubuh dan rumah tangga.

Ketua Umum APRINDO, Roy Mandey, mengungkapkan bahwa masyarakat kini lebih banyak berburu promo atau beralih ke toko online yang menawarkan diskon lebih besar.

“Konsumen saat ini lebih rasional. Mereka bandingkan harga antarplatform dulu sebelum belanja. Supermarket yang tidak adaptif bisa kehilangan pelanggan tetapnya,” ujar Roy.

Selain faktor ekonomi, perubahan perilaku juga mempengaruhi oleh kemajuan digital. Data dari Bank Indonesia menunjukkan transaksi e-commerce meningkat hingga 14,2 persen pada kuartal III 2025 dari pada tahun sebelumnya. Banyak warga kini memilih berbelanja secara daring untuk menghemat waktu, tenaga, dan ongkos transportasi.

Namun, bagi sebagian pedagang kecil, tren ini menjadi ancaman baru. “Kalau di supermarket saja sepi, pasar tradisional lebih terasa. Dulu bisa jualan habis, sekarang kadang bawaan balik lagi,” kata Wati (47), pedagang sembako di Pasar Baru, Jakarta Pusat. Ia menyebut omzetnya menurun hingga 40 persen dalam enam bulan terakhir.

Analis sosial ekonomi Bhima Yudhistira menilai, situasi ini menjadi alarm bagi pemerintah agar memperkuat kebijakan stabilisasi harga dan menjaga daya beli masyarakat.

“Kalau konsumsi rumah tangga terus melemah, efeknya bisa ke pertumbuhan ekonomi nasional. Konsumsi itu penyumbang terbesar terhadap PDB Indonesia,” tegasnya.

Kini, banyak warga memilih strategi bertahan. Sebagian mulai mencatat pengeluaran secara ketat, membatasi nongkrong di kafe, hingga kembali memasak di rumah. Di sisi lain, retailer perlu berinovasi dengan diskon, program loyalti, dan layanan daring agar tidak kehilangan pelanggan.

Fenomena “hemat massal” ini memperlihatkan bahwa tekanan ekonomi bukan hanya tercermin di angka inflasi, tapi juga di keranjang belanja masyarakat. Jika daya beli tak segera pulih, supermarket yang kini sepi bisa menjadi cermin suram kondisi ekonomi domestik. (clue)

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *