BANTEN — Kasus itu bermula pada Jumat 10 Oktober 2025 di SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten. Saat sekolah menggelar kegiatan “Jumat Bersih”, seorang siswa kelas XII berinisial ILP (17 tahun) kedapatan merokok di area kantin belakang sekolah.
Menurut pengakuan pihak sekolah, Kepala SMAN 1 Cimarga, Dini Fitria (DP), memergoki siswa tersebut dan langsung menegurnya.
Namun, teguran berubah menjadi insiden fisik ketika Kepala Sekolah mengejar ILP dan kemudian menampar pipi siswa itu saat berada di ruang Bimbingan Konseling (BK).
Dini mengaku tindakannya bersifat spontan dan emosional, dan bahwa tidak ada pemukulan keras yang terjadi.
ILP mengaku sempat membuang rokok, merasa tertipu, lalu ada tamparan satu kali pada area pipi dan ada tendangan satu kali di kaki ketika Kepala Sekolah mengerjarnya.
Setelah video insiden tersebut tersebar luas di media sosial, reaksi dari siswa pun datang cepat.
Ratusan siswa SMAN 1 Cimarga menggelar mogok belajar sebagai bentuk solidaritas kepada ILP dan menuntut tindakan tegas terhadap Kepala Sekolah. Sebanyak 19 ruang kelas kosong meski para guru tetap hadir di sekolah.
Menanggapi insiden itu, Pemerintah Provinsi Banten segera merespons. Gubernur Banten Andra Soni menyatakan bahwa Kepala Sekolah sedang dalam proses nonaktifkan.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten, Drs. H. Deden Suryana, menegaskan bahwa segala bentuk kekerasan tidak pantas terjadi di lingkungan sekola. Ia menyatakan bakal ada konsekuensi hukum dan disipliner jika terungkap bahwa tindakan tersebut melanggar aturan.
Sementara itu, pihak orang tua ILP telah melapor ke Polres Lebak pada Jumat 10 oktober 2025. Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak Satreskrim Polres Lebak, Ipda Limbong, Membenarkan laporan dan menyatakan kepolisian akan memanggil semua pihak serta saksi terkait.
Klarifikasi Dari Kepala Sekolah

Kepala Sekolah Dini Fitria sendiri sudah memberi klarifikasi kepada media:
“Saya spontan menegur dengan keras … sempat memukul pelan karena menahan emosi,” kata Dini. Ia menegaskan bahwa tidak ada pemukulan keras.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Aris Adi Leksono, menyayangkan tindakan Kepala Sekolah. Ia mengatakan bahwa perilaku menyimpang pada peserta didik seharusnya mendapat binaan melalui pendekatan disiplin positif, bukan melalui kekerasan.
Ia menyebut bahwa menurut Permendikbud No. 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan. Tindakan seperti itu termasuk pelanggaran yang bisa mendapat sanksi administratif selain sanksi lainnya.
Dalam UU No. 35 Tahun 2014 yang merevisi UU No. 23 Tahun 2002, Pasal 76C menyatakan bahwa:
“Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.”
Sementara Pasal 80 menyebutkan ancaman hukuman bagi pelaku kekerasan terhadap anak: penjara maksimal 3 tahun 6 bulan dan/atau denda hingga Rp 72 juta. Jika korban mengalami luka berat, ancaman hukuman bisa meningkat hingga 5 tahun dan/atau denda Rp 100 juta.
Selain itu, UU juga menegaskan bahwa anak harus mendapat perlindungan dari kekerasan fisik, psikis, seksual dan bentuk lainnya di dalam dan sekitar lingkungan pendidikan (Pasal 54 UU 35/2014).
Insiden ini tak hanya mencoreng nama SMAN 1 Cimarga, tapi juga menimbulkan persoalan besar di antara siswa, orang tua, dan dunia pendidikan secara umum. Aksi mogok belajar menunjukkan bahwa kepercayaan siswa terhadap otoritas sekolah telah terguncang.
Kasus ini menjadi pengingat keras bahwa meski peraturan tata tertib sekolah idealnya mengatur larangan merokok di lingkungan sekolah, pelanggaran itu tidak boleh dijawab dengan kekerasan fisik.
Prinsip disiplin positif harus menjadi pendekatan utama dalam membimbing siswa yang melakukan kesalahan. (clue)