MALUKU — Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda menghadapi sorotan tajam soal keterkaitannya dengan sejumlah perusahaan tambang di wilayahnya.
Isu ini muncul setelah laporan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengungkap dugaan kepemilikan saham besar di perusahaan tambang nikel dan emas.
Dalam laporan bertajuk “Konflik Kepentingan di Balik Gurita Bisnis Gubernur Maluku Utara”, JATAM menyebut Sherly memiliki 71 persen saham PT Karya Wijaya. Perusahaan ini beroperasi di Pulau Gebe, Halmahera Tengah, dengan luas izin sekitar 1.145 hektare.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Karya Wijaya pada 17 Januari 2025, berlaku hingga Maret 2036.
Lebih lanjut, data tersebut tercatat dalam sistem Minerba One Data Indonesia (MODI) yang ESDM kelola.
“Banyak izin tambang di Maluku Utara terkait dengan jaringan keluarga Gubernur Sherly,” kata Koordinator JATAM, Melky Nahar, dikutip dari Monitor Indonesia, Kamis (30/10/2025).
Selain itu, ia juga menilai kondisi itu melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Sementara ini, laporan harta kekayaan Sherly ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan total aset senilai Rp709,7 miliar.
Nilai tersebut terutama berasal dari aset perusahaan, termasuk tanah dan properti di Ternate serta Jakarta.
Dugaan Konflik Tambang Uji Integritas Pemprov Maluku Utara

Aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Maluku Utara meminta KPK menyelidiki dugaan konflik kepentingan tersebut.
“Publik perlu tahu apakah izin tambang diberikan secara objektif,” ujar Ketua GMNI Ternate, Fajar Umanailo.
Menanggapi sorotan itu, Sherly menegaskan fokus pemerintah provinsi tetap pada hilirisasi industri tambang.
“Kami ingin tambang memberi nilai tambah bagi masyarakat tanpa merusak lingkungan,” ucap Sherly.
Namun, JATAM menilai pernyataan itu belum sesuai dengan realita di lapangan.
Aktivitas tambang di Pulau Gebe merusak kawasan hutan dan menurunkan kualitas air.
Beberapa operasi bahkan belum mengantongi izin Clean and Clear (CnC) dari ESDM.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai transparansi kepemilikan penting untuk menjaga kepercayaan investor.
“Jika pejabat terlibat langsung dalam bisnis sumber daya, kredibilitas pemerintah daerah bisa jatuh,” katanya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Maluku Utara mencatat sektor pertambangan menyumbang hampir 50 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) provinsi pada 2024.
Angka itu menunjukkan ketergantungan ekonomi daerah terhadap industri tambang sangat tinggi.
Publik kini menunggu langkah KPK dan Kementerian ESDM menelusuri dugaan kepemilikan saham tambang yang melibatkan Gubernur Sherly Tjoanda.
Kasus ini menjadi ujian transparansi dan integritas pengelolaan sumber daya alam di daerah penghasil nikel terbesar Indonesia. (clue)

