JAKARTA – Pemerintah Indonesia kini mengambil alih peran penting dalam upaya penyelesaian keuangan proyek kereta cepat rute Kereta Cepat Jakarta–Bandung yang dibangun oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).
Skema pendanaan tambahan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mulai dibahas untuk menopang restrukturisasi utang dan memastikan kelanjutan operasional proyek infrastruktur strategis tersebut.
Proyek kereta cepat Jakarta–Bandung awalnya dibangun dengan skema non-APBN, namun kondisi keuangan saat ini memaksa pemerintah mempertimbangkan intervensi fiskal.
Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero) (KAI), B Rasyidin, menyampaikan bahwa restrukturisasi utang telah diserahkan ke Badan Pengelola Investasi Danantara sebagai holding BUMN.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono, menyebut bahwa “negara akan hadir untuk mencari solusi” dan bahwa APBN “pasti akan jadi bagian” dari skema penyelesaian.
Menurut data yang dihimpun, proyek ini awalnya direncanakan dengan nilai investasi US$ 6,07 miliar, namun karena pembengkakan biaya dan kondisi pandemi, angka tersebut naik mendekati US$ 8 miliar.
Partai politik, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), justru menilai bahwa penggunaan APBN menunjukkan inkonsistensi perencanaan pemerintah karena semula Pemerintah melalui Perpres No. 107/2015 menyatakan proyek tidak akan menggunakan APBN.
Bobby Rasyidin, Dirut KAI – “Kami sudah koordinasi dengan Danantara … yang jelas kita akan support.” Mengutip dari detikfinance
Agus Harimurti Yudhoyono, Menko Infrastruktur – “Pemerintah, APBN, pasti akan jadi bagian … yang jelas tadi kita bicara infrastruktur di berbagai negara, tentunya negara akan hadir.” Mengutip dari detikfinance
Farouk Abdullah Alwyni, Ketua Departemen Ekonomi & Pembangunan DPP PKS – Kritik bahwa “sekilas alasan pemerintah terdengar masuk akal… tetapi yang belum dijelaskan adalah apakah cost overrun ini sudah final.”
Pembengkakan biaya proyek hingga dua digit dari estimasi awal; pernyataan resmi menyebut kenaikan dari US$ 6,07 miliar menjadi mendekati US$ 8 miliar.
Penurunan kapasitas keuangan BUMN pendukung proyek akibat dampak pandemi yang mengganggu arus kas.
Kebutuhan untuk menjaga keberlanjutan operasional proyek yang menjadi bagian dari infrastruktur prioritas nasional.
Perubahan skema pembiayaan dari non-APBN ke APBN bisa memunculkan pertanyaan soal efektivitas tata kelola dan prioritas fiskal.
Farouk menyoroti bahwa masih banyak proyek infrastruktur dasar yang belum dibiayai APBN.
Pemerintah belum mengungkap secara transparan skema spesifik bagaimana APBN akan dipakai: apakah untuk modal negara (PMN), jaminan, atau operasi.
Agus H-Y menyebut bahwa akan ada “kesempatan lain” untuk menjelaskan.
Jika APBN dijadikan “penambal” keuangan proyek, maka beban fiskal jangka panjang bisa meningkat, khususnya bila arus pendapatan proyek tidak sesuai target.
Bagi masyarakat, ini memberi sinyal bahwa proyek tersebut dianggap penting untuk mobilitas dan konektivitas antar kota besar seperti Jakarta dan Bandung.
Bagi Fiskal negara, keterlibatan APBN berarti pemerintah menempatkan proyek ini sebagai bagian dari infrastruktur strategis yang layak dibiayai publik.
Namun sekaligus harus dapat direspons dengan hasil dan manfaat yang jelas.
Bagi investor dan BUMN, pengaturan ulang pembiayaan ini memberi kesempatan untuk memperjelas pembagian beban dan tanggung jawab pemerintah menyebut akan ada “sharing responsibility, burden sharing”.
Proyek kereta cepat Jakarta–Bandung yang dibangun oleh KCIC kini memasuki fase baru dimana pemerintah memutuskan untuk “turun tangan” melalui alokasi APBN.
Langkah ini menandakan bahwa proyek tidak lagi hanya menjadi domain konsorsium swasta–BUMN saja, melainkan menjadi prioritas nasional yang pemenuhan dan keberlanjutannya dianggap perlu dilindungi oleh negara.
Namun demikian, transparansi skema pendanaan, efektivitas penggunaan anggaran, dan hasil operasional dari proyek ini menjadi kunci agar keputusan ini benar-benar membawa manfaat bagi publik dan tidak menjadi beban fiskal di masa depan. (clue)

