SUBANG – Pemungutan suara tanggal 14 Februari sudah berlalu, beberapa kejadian memalukan dan kurang etis dari caleg yang kalah terjadi di beberapa tempat.
Seperti di Dusun Panjen, Sempu, Kabupaten Banyuwangi. RN caleg DPRD Banyuwangi menarik lagi bantuan Paving Block gara-gara kalah suara. Di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, seorang caleg inisial BSR dari PKS, menarik lagi bantuan semen untuk sebuah masjid karena perolehan suaranya sedikit.
Kasus serupa, terjadi di Patokbeusi, Subang. Seorang caleg membakar petasan di sebuah menara masjid dan membuat masyarakat terganggu. Juga bantuan Cor perbaikan jalan yang diberikan kepada masyarakat diambil kembali.
Selain bantuan dari para kontestan Pemilu, bantuan resmi dari pemerintah seperti BLT, PKH, atau bantuan yang bersumber dari APBD, terjadi politisasi Bansos dan dugaan pengancaman kepada penerimanya untuk memenangkan calon tertentu.
Seperti temuan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) yang mengatakan terjadi pengancaman terhadap penerima bansos, terutama perempuan dan ibu rumah tangga.
“Bansos juga dijadikan ancaman kalau tidak memilih paslon tertentu, Capres tertentu, maka bansos akan dihentikan,” ujar Mikewati, Sekjen KPI, dikutip dari KBR.id (07/01).
Menurut Praktisi Hukum dari Republik Law Firm, Asep Rohman Dimyati (ARD), peristiwa tersebut seharusnya tidak pantas terjadi. Masyarakat perlu berani dan cerdas melihat sumber bantuan tersebut dari anggaran negara atau bukan.
“Bantuan (BLT) itu bantuan dari uang APBN, hasil dari pajak rakyat. Masyarakat jangan takut kalau diancam gara-gara perbedaan pilihan politik,” kata ARD kepada Cluetoday, (07/03).
Bantuan tersebut sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang dana fakir miskin. ARD menyebut, masyarakat harus mengetahui sumber bantuan tersebut.
“Kalau ada pejabat yang mengklaim bantuan dari dirinya, padahal dari APBN, gak bisa disebut bantuan personal. Duit Negara,” tegasnya.
ARD mengajak masyarakat untuk melaporkan jika terjadi politisasi bansos atau bantuan negara diklaim menjadi bantuan pribadi oleh oknum pemangku kepentingan. Bisa jadi termasuk unsur pidana. Bukan omong kosong, ancaman pidana bagi penyalahgunaan bantuan, termasuk Bansos dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin disebutkan dalam Pasal 43 ayat (1), setiap orang yang menyalahgunakan dana penanganan fakir miskin dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
“Pejabat atau anggota dewan, sudah tugasnya untuk membagikan dan mendata bantuan untuk masyarakat. Sudah menjadi tanggungjawab resiko jabatannya, bukan jasa dia. Dia sudah dibayar oleh Negara untuk melakukan itu,” terangnya.(Clue)