Liputan Khusus : Cecep Muhammad Yusuf
SUBANG – Indonesia menempati peringkat ke-8 di dunia sebagai negara penghasil sampah sisa makanan (food waste). 14,73 juta ton per tahun sampah makanan dihasilkan. Data tersebut berdasarkan laporan United Nations Environment Programme (UNEP) berjudul Food Waste Index Report 2024.
Data penelitian Kementerian PPN/Bappenas memprediksi, dari tahun 2000-2019, Indonesia kehilangan kehilangan 23–48 juta ton makanan. Angka tersebut setara 213 triliun sampai 551 triliun. Bisa memberi makan 61 juta hingga 125 juta warga Indonesia. (dikutip kompas.id, 02/03/23).
Masalah tersebut menambah pilu di tengah 16,2 juta orang Indonesia diperkirakan mengalami kelaparan (data FAO). Di Kabupaten Subang sendiri, 1,5 juta penduduk Subang menghasilkan timbulan sampah sebesar 369.546 ton per tahun.
Bank Sampah: Gerakan Masyarakat
Sebuah gerakan pengelolaan sampah muncul dari Yogi Burhanuddin. Seorang anggota kepolisian pendiri Bank Sampah Bageur. “Bageur” dalam bahasa Sunda memiliki arti “Baik”. Namun bukan itu arti sebenarnya. Ia memberi nama “Bageur” dari akronim Bermanfaat, Amanah, Giat, Ekonomis, Untung dan Rajin.
Sehari-hari, Yogi menjalankan tugas sebagai Bhabinkamtibmas di Dangdeur, Subang. Bank Sampah Bageur ini beralamat di Blok Tegal Kalapa, RT 14 RW 10 Kelurahan Dangdeur, Subang. Tempat Ia lahir.
Tahun 2014, di lahan seluas 1.200 persegi area rumahnya, Yogi mendirikan bank sampah. Sempat pasang surut. Namun, tahun 2016 geliat kembali. Alasan mendirikan bank sampah, Ia prihatin rendahnya kesadaran masyarakat mengelola sampah.
“Kalau kita mengajak masyarakat peduli sampah, dimulai memberi contoh langsung dari diri kita,” ujar Yogi, kepada Cluetoday (10/05/24).
Seperti bank pada umumnya, Bank Sampah Bageur menerima tabungan sampah dari anggotanya. Sampah yang sering dilihat sebagai barang kotor, di mata Yogi punya nilai ekonomis. Dari sampah jenis plastik yang bisa didaur ulang, hingga sampah makanan hotel diolah Yogi di Bank Sampah-Nya.
Jenis sampah sisa makanan, akan diolah Yogi jadi makanan budidaya ternak Maggot. Sejenis Belatung atau larva dari lalat jenis Black Soldier Flies (BSF). Maggot kaya gizi. Mengandung 40-50 persen protein. Biasa digunakan untuk pakan ternak unggas.
“Setelah 14 hari, Maggot dewasa bisa dipanen. Lalu dikasih ke ayam. Jadi pakan alternatif. Dicampur dengan dedek atau pur,” jelas Yogi.
Selain budidaya Maggot, di Bank Sampah Bageur memiliki budidaya cacing tanah, ternak ayam petelur, ayam kate, kolam ikan lele, dan pemancingan. Menariknya lagi, Bank Sampah juga difungsikan sebagai ruang interaksi masyarakat.
Sebagai pengayom masyarakat, Yogi seringkali bila terjadi masalah di masyarakat, area bank sampahnya dijadikan tempat musyawarah warga maupun mediasi. Ia bermimpi suatu saat Bank Sampah bisa sejajar derajatnya dengan bank-bank lainnya.
“Perlu kesadaran bersama membangun bank sampah hingga menjadi kebanggaan. Jadinya, seperti BCA, BRI, ber-AC, nasabahnya banyak lalulalang, ada satpamnya, bisa pinjam uang dari sampah,” harapnya.
Masalah Sampah Belum jadi Isu Politik
Yogi mengajak pemangku kebijakan untuk serius menggulirkan pengelolaan sampah secara berkelanjutan. Ia berkaca ke daerah kaki Gunung Slamet, Kabupaten Banyumas namanya. Dinilai berhasil mengelola sampah bahkan dijadikan percontohan nasional.
“Sebetulnya kalau semua berkumpul, kita belajar ke Banyumas, asal kebangun kesadaran bersama, saya yakin bisa direplikasi berhasil,” tutur Yogi.
Peneliti Fisipol UGM, Nur Azizah menjelaskan, hal penting dalam tata kelola sampah di daerah adalah infrastruktur politik. Menjadi dasar dalam penangan sampah. Infrastruktur politik tersebut lahir dari komitmen seorang pemimpin.
“Semua orang tau itu masalah, tapi solusinya gak muncul. Jadi, salah satu yang menentukan sampah tertangani, yang pertama adalah infrakstruktur politik. Atau bahasa ku, komitmen kepemimpinan,” tutur Nur Azizah.
Jika sudah terbangun infrastruktur politik, lanjut Nur Azizah, maka akan lahir infrastruktur kebijakan. Sehingga, penting bagi pemangku kebijakan, menganggap sampah itu bagian penting dari permasalahan tata kota.
Hal tersebut disampaikan Nur Azizah dalam sebuah video di kanal YouTube PARES Indonesia. Berjudul “Masalah Sampah: Tanpa Politik, Tidak ada Penyelesaian”. Diunggah sejak 18 April 2024.
Nur Azizah menerangkan, pengelolaan sampah oleh pemerintah, bersifat jangka panjang. Artinya, tidak menghasilkan keuntungan instan. Ia memberi contoh yang dilakukan Pemkot Surabaya yang nilai investasinya sekitar 1 trilliun.
Dirinya menekankan, sehebat apapun teknologi, jika tidak didukung oleh infrastruktur politik, sulit berhasil. Karena akan berpengaruh pada regulasi-regulasi yang dibuat dan kekuatan ekonomi atau anggaran. Juga, budaya kesadaran peduli sampah yang masih rendah.
“Sekarang ini, orang atau pemda ngomongnya teknologi duluan. Padahal teknologi itu baru bisa muncul, kalau infrakstruktur politiknya muncul, kekuatan finasial daerah muncul, baru bisa ngomongin teknologi. Kalau enggak ada dua tadi, tunggu aja, mangkrak,” ujarnya.
Pun demikian, objek kebijakan masih lambat menyisir di tataran perusahaan. Masih fokus di hilir. Ia mencontohkan, belum adanya aturan standar pengemasan. Karena berpengaruh pada industri daur ulang. Selama 6 tahun meneliti, Nur Azizah menemukan, pengelolaan sampah yang bagus diawali dengan komitmen politik. (clue)