Cut Intan Nabila berhasil menghebohkan sekaligus membuat geram publik saat mengunggah video penganiayaan melalui CCTV. Dalam video yang ditayangkan olehnya, Intan mendapat kekerasan dari sang suami, Amor Toreador.
Pelaku yang kini telah diamankan pihak kepolisian tak hanya melakukan kekerasan terhadap istrinya, namun bayi mereka pun ikut ditendang berkali – kali.
Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kerap dialami oleh perempuan. Data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) mencatat, sejak awal januari 2024 hingga saat ini. Sebanyak 13.551 perempuan telah menjadi korban kekerasan.
Lebih mengerikan lagi, dari 15.596 kasus kekerasan yang terjadi, 9.575 diantaranya terjadi dalam lingkungan rumah tangga (KDRT). Hal itu menjadikan KDRT sebagai kasus kekerasan tertinggi di Indonesia.
Kasus tersebut juga mendapat perhatian dari ketua DPR RI Puan Maharani. Ia menyebutkan bahwa perempuan seringkali menjadi korban dalam kasus kekerasan.
“Keprihatinan mendalam atas kekerasan yang lagi-lagi menimpa perempuan. Walaupun korban KDRT bisa terjadi pada siapa saja, tapi perempuan yang paling banyak menjadi korban,” kata Puan melalui rilis DPR (14/08/2024).
Marriage is Scary
Buntut dari kasus tersebut, masyarakat banyak menyayangkan bahwa pernikahan menimbulkan banyak kasus kekerasan. Pasalnya, sepanjang tahun 2023 sebanyak 38,47% pelaku kasus kekerasan berstatus menikah.
“Di tahun 2023, status perkawinan pelaku kekerasan tertinggi adalah status kawin sebanyak 38,47%. Ini memang dikaitkan dengan situasi atau budaya patriarki yang masih sangat kuat di dalam masyarakat kita,” kata Bahrul Fuad, Komisioner Komnas Perempuan (13/8/2024).
Selain itu, pelaku kekerasan pada umumnya merupakan pasangan sendiri baik pacar maupun suami atau istri.
Data KemenPPPA, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan dan Forum Pengada Layanan (FPL) menyebutkan ranah domestik atau rumah tangga menjadi yang paling tinggi jumlah kasus kekerasannya.
“Pelaku kekerasan tertinggi yaitu suami, di mana pelaku merupakan orang terdekat dari korban,” kata Fuad dikutip dari disway.id.
Dari data kemenPPA, laki – laki 10 kali lebih banyak menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga.
Korban Sulit Keluar dari Lingkungan Kekerasan
Psikolog dari Dinas BP2KB, Endang Sari menyebutkan kasus KDRT baru – baru ini telah sangat memprihatinkan. Ia menyebutkan, jika dibedah dan dikategorikan, terdapat 2 hal yang mempengaruhi terjadinya KDRT.
“Banyak faktor yg mempengaruhi terjadinya KDRT seperti (faktor) Internal, suami yg memiliki temperamen tinggi, tingkat stres yang tinggi, tingkat kelelahan, umur pasangan yg blm matang menjadi orang tua, motif ingin menyakiti pasangan, harga diri,” Kata Endang saat dihubungi melalui telepon seluler.
Selain masalah internal, Endang juga menyoroti adanya faktor eksternal seperti ekonomi yang sering menjadi penyebab utama banyaknya kasus.
“Eskternal (seperti) ekonomi, konflik berkepanjangan sehingga situasi tidak nyaman buat pasangan, campur tangan pihak lain, kecemburuan sosial,” lanjut Endang.
Endang menyebut, para korban sulit untuk keluar dari situasi malang karena beberapa hal yang menjadi pertimbangan.
“Banyak pertimbangan dari para korban terutama korban yg tergantung dgn pasangannya sehingga mrs tdk dpt lepas, bs jd karena cinta buta, demi anak, ingin terlihat keluarga utuh krn label broken home yg negatif,” papar Endang.
Jika melihat data statistik, dari seluruh pengaduan kekerasan tersebut, hanya 10 persen kasus yang mendapatkan pendampingan hukum. Sisanya, mendapat layanan pengaduan, layanan Kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan pendampingan tokoh agama.
Kasus kekerasan yang terjadi di sepanjang 2023, Kepala Biro Data dan Informasi KemenPPPA Muhaziron Sulistiyo Wibowo menyebutkan, para korban yang mengalami kekerasan mulai berani untuk melapor, namun masih banyak lagi korban yang sulit keluar dari situasi tersebut.
Muhaziron menyebutkan, orang terdekat justru banyak menjadi pelaku kekerasan baik dilingkungan rumah tangga, lingkungan kerja maupun lingkungan sosial. Hal itu disebabkan oleh hubungan emosional antara korban dan pelaku.
“Di sini menunjukkan kekerasan personal masih mendominasi sepanjang tahun 2023. Kekerasan di ranah personal biasanya terjadi karena adanya hubungan emosional antara pelaku dan korban, relasi kuasa, hegemoni yang menyebabkan para korban memiliki kesulitan untuk keluar dari kekerasan yang terjadi,” pungkasnya.
Diungkap oleh Endang Sari, hal yang masih terus disosialisasikan adalah bagaimana para korban mau keluar dari situasi tersebut dan berani melaporkan pelaku yang tak jarang merupakan orang terdekatnya.
“Caranya meyakinkan para korban bahwa dirinya berhak untuk bahagia dan hidup nyaman..,” tutup Endang kepada Cluetoday.(Sin/Clue)