PANDEMI Covid-19 membuat kita merenung lebih dalam. Lebih melihat ke dalam. Memahami arti kemanusiaan. Memaknai nilai-nilai kehidupan. Tarik nafas sejenak. Berhenti sebentar dari lari-lari panjang kehidupan.
Covid-19 beriringan dan memperkuat peran teknologi dan digitalisasi. Tapi kemanusiaan tetap hanya ada dalam diri manusia. Bukan dalam perangkat teknologi.
Teknologi justru hadir karena ada rasa kemanusiaan itu. Manusia bukan hanya tentang angka. Tentang hitungan binary atau byte semata. Kadang kita, terkungkung oleh derap digitalisasi yang menafikan kemanusiaan itu.
Kecepatan mesin kadang membuat manusia lupa dengan makna. Internet jadi ruang imejiner kebenaran yang dibungkus angka. Nurani kita sering tumpul, tercerabut. Hati dan nurani kita terbungkus angka dari mesin ciptaan manusia itu sendiri.
Di belahan dunia sana terjadi sesuatu. Mungkin karena pergulatan humanisme dan teknologi. Terjadi gelombang pemberhentian bekerja. Bukan karena PHK. Tapi karena sukarela ingin berhenti dari institusi tempat kerja. Mungkin mereka tidak menemukan jati diri kemanusiaannya.
Mereka menemukan dirinya tidak ternilai angka. Sebab manusia bukan tentang angka. Meskipun setiap inci sel bisa dihitung. Meski mesin pun sudah bisa menghitung sentimen dan emosi manusia.
Terjadilah apa yang disebut the great resignation di Amerika. Bahkan di tengah negara adidaya kapitalistik yang disebut serba hitungan. Gejala karyawan mundur dari tempat kerja. Berapa juta orang yang mundur dari tempat kerja? Anda bisa mencari data sendiri di mesin internet.
Sesuatu yang sulit dibayangkan terjadi di Amerika dan beberapa negara Eropa lainnya. Tapi itulah manusia. Tidak ternilai.
Faktor utamanya bukan hanya karena terbiasa work from home (WFH), menolak work from office (WFO). Riset menunjukan, saat diam di rumah atau merenung, mereka menemukan kembali nilai diri. Sebagian merasa sudah bisa multi-tasking. Maka model hybrid: setengah di kantor, setengah kerja di mana saja, kini menjadi model baru pola kerja. Teknologi internet menjamin pekerjaan tetap tuntas.
Tapi, perusahaan besar seperti Tesla menolak itu. Beberapa CEO yang hebat, berprinsip WFO tetap yang terbaik. Membangun relasi positif dengan rekan kerja di kantor akan lebih produktif dan melahirkan inovasi.
Ada pula yang memberi jalan tengah: full di kantor atau hybrid tetap hasilnya akan baik. Jika seorang karyawan kerja keras dan tekun.
Tapi intinya, kembali kepada core bisnis perusahaan.
Perusahaan media di antara perusahaan yang sudah ter-disrupsi sedemikian rupa. Internet menjadi tumpuan utama. Mendorong kreativitas dan memeras pemikiran agar membuat rencana bisnis yang lebih inovatif.
Internet semakin memperkuat dogma: content is king. Internet juga menyediakan alat komplementer atau pelengkap untuk memperkuat pengaruh konten: media sosial. Konten bermutu akan jadi king. Konten bermutu akan jadi viral.
Tapi jika tidak ditekan dan melalui “rekayasa” alat komplementer itu, rasanya sulit akan jadi konten yang king. Konten bisa heboh karena jejaring media sosial. Bisa disebar ke mana-mana, jadi obrolan, viral dan berpengaruh.
Konten biasa bisa jadi king? Begitu banyak kegelisahan. Konten biasa, jika public figure yang bicara bisa jadi king, viral. Mengapa? Karena follower medsosnya jutaan. Exposure-nya besar. Yang membaca, menderngar dan melihatnya begitu banyak.
Maka, kemasan konten, desain, upaya rekasaya digital melalui media sosial menjadi kunci. Syarat lainnya jangan terperangkap hanya dalam deretan angka-angka saja. Konten bermutu adalah yang bermakna dan bermisi.
Seakan, kaidah menulis jurnalisme dan kaidah digitalisasi konten yang disebut teknik Search Engine Optimization (SEO) itu bertabrakan. Pemburu angka melalui SEO demikian menguat. Tapi untungnya, google perlahan menyadari itu.
Perlahan, konten original, artikel atau berita tanpa ‘dioprek’ teknik SEO menjadi perhatian google. Buktinya: sering muncul di google story. Perlahan tidak akan lagi bertabrakan antara kaidah menulis jurnalistik dan SEO.
Maka inilah saatnya media online yang memperkuat kedalaman makna dari sebuah peristiwa perlu hadir. Membaca pertanda itulah inspirasi lahirnya cluetoday.com.
Mencoba menafsirkan tanda dan peristiwa. Sebab, kita setiap hari akan selalu berhadapan beragam tanda dan simbol. Ada yang tersirat maupun tersurat.
Dalam ilmu tafsir, manusia harus bisa membaca dan memahami ayat-ayat di kitab suci. Ayat artinya petunjuk. Petunjuk Tuhan dalam kitab suci itu ada yang sudah jelas (muhkamat) ada pula yang samar (mutasyabihat). Ada yang sirron dan jahron. Eksplisit dan implisit. Teriak atau berbisik. Jurnalisme punya cara mengupasnya. Melalui laporan in-depth dan investigasi.
Cluetoday.com mencoba menyampaikan yang sudah jelas dan menafsirkan yang masih samar. Mencoba membaca tanda dan mengikat makna. Itulah nilai-nilai kemanusiaan yang tidak bisa tergantikan mesin.
Mesin bisa melahirkan angka tapi sulit memproduksi makna. Hanya otak manusia yang bisa memaknai itu. Bagi mesin komputer, huruf besar, kecil dan warna hanya gabungan angka biner saja. Antara 0 dan 1. Itulah basis bilangan komputer.
Cluetoday.com akan menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Sekaligus memahami perilaku dan ekosistem digital. Agar terlahir produk jurnalistik untuk dibaca manusia. Bukan hanya dibaca mesin.(clue)