Pukul sebelas siang, suasana kantin SMPN 1 Kalijati tampak tidak terlalu ramai. Beberapa kantin sudah tutup dan hanya ada beberapa siswa yang menenteng mangkuk untuk jajan dibelakang sekolah.
Dibalik program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang banyak menyoroti menu dan tanggapan siswa, terdapat pihak kantin yang secara tegas tidak setuju dengan program tersebut.
Mereka menyebut, pihaknya mengalami penurunan omset karena anak – anak mulai berhenti untuk jajan di kantin.
Apalagi, di SMPN 1 Kalijati ada sistem sewa yang harus dipenuhi oleh para pemilik kantin di lingkungan sekolah.
“Keluhan datang dari kantin, di kita kan ada 12 kantin sehat, jadi ada sewa,” kata Ati, Wakil Kepala sekolah bidang kurikulum.
Ia menyebut, penurunan omset tidak akan dapat dihindari. Meski begitu, pihak sekolah tidak dapat berbuat banyak.
Kantin yang tidak mampu bertahan atau tidak dapat memenuhi biaya sewa sangat mungkin akan gulung tikar.
Pesimis, Para Pedagang Tutup Lebih Dini
Pantauan Cluetoday, dari 12 kantin yang ada, beberapa sudah tutup atau bersiap untuk pulang. Seolah, jam istirahat siang bukan lagi jam “prime time” untuk meraup cuan.
Seorang pengelola kantin yang enggan disebutkan namanya menyebut bahwa sudah pasti omsetnya turun.
Bahkan, ia menyebutkan bahwa sebelum program tersebut ada, kebijakan pengurangan kantong plastik di sekolah sudah menurunkan pendapatan penjualannya.
“Sebelum ada program makan bergizi gratis aja omset udah turun, apalagi ada program itu, makin turun lagi,” kata ibu kantin yang akan beranjak pulang pada pukul 11.00 WIB.
Kebijakan pengurangan sampah plastik di lingkungan sekolah telah diterapkan di Subang. Bahkan telah ada surat edarannya. Hal itu merupakan tindak lanjut dari Peraturan Daerah Kabupaten Subang No. 5 Tahun 2018 tentang Pengelolaan sampah dan Upaya Pengendalian Sampah Plastik.
Pihak pengelola kantin kebingungan mencari pengganti plastik dan Styrofoam. Ketika mereka mengganti dengan mangkuk atau piring, anak – anak terkadang menghilangkan atau bahkan merusaknya. Hal itu menambah kerugian dan menurunkan omset.
“Kita bingung cari pangganti plastik, namanya anak – anak kadang gak dibalikin lagi, kadang rusak, lupa segala macem,” katanya.
Adanya program MBG, jelas tidak disambut dengan baik oleh para pengelola kantin. Ketika ditanya mendukung program atau tidak, Derry yang menjual aneka gorengan di kantin pun secara tegas berkata tidak setuju.
“Ngga (setuju), pertama saya liat kalo anak – anak gak suka, rasanya hambar atau gimana kan jadinya mubadzir, lebih baik kita yang buat,” ucapnya sambil membolak – balikan cireng isi yang sedang digorengnya.
Derry juga memantau perkembangan program MBG dan review jujur anak – anak SD dari media sosial. Ia menyebut kalo rasanya tidak enak, anak – anak juga tidak akan menghabiskan makanannya.
“Mubadzir aja sih, kalo kita,” lanjutnya.

Orang Tua Siswa Merasa Terbantu
Berbeda dengan para pengelola kantin, ibu dari anak SD di salah satu sekolah di Kalijati, Piah Sopiah (40) tampak antusias untuk menyambut program tersebut.
Ia menyebut lebih tenang karena tidak perlu khawatir tentang makan siang anaknya karena sudah dipenuhi disekolah.
Piah menyebut, dirinya lebih bisa berhemat dan anak – anak pun terpenuhi kebutuhan makannya.
“Jadi lebih irit karena gausah nyiapin makan siang pas pulang sekolah, Akbar (nama anaknya) juga bisa langsung lanjut ngaji gausah minta bekel buat makan diluar,” katanya Piah kepada Cluetoday.
Pro kontra makan siang gratis sudah tidak dapat diperdebatkan. Program sudah dimulai dan diterapkan meski baru sebagian. Kini, para pengelola kantin harus memutar otak lebih keras agar usahanya dapat bertahan.
Ketika ditanya solusi dan strategi, para penjual belum banyak memikirkan nasibnya. Mereka hanya berharap bahwa anak – anak tetap sarapan dan jajan dikantin.
Dari soal rasa, mereka lebih optimis. Dengan jumlah porsi yang begitu banyak, Derry (penjual gorengan) lebih yakin, penyedia MBG tidak terlalu memikirkan rasa. Anak – anak akan lebih menyukai dagangannya dibanding rasa menu MBG.
Ketika ditanya perannya sebagai orang tua, Derry menyebutkan, “Kalo anak saya suka, kami terbantu, kalo gasuka malah mubadzir, mending saya yang buat,” kata Derry.
Pihak sekolah juga belum berencana untuk mempertimbangkan soal biaya sewa. Sekolah masih sibuk dengan manajemen MBG yang mekanismenya seolah membebani para guru.
“Kita sudah kerepotan dengan tugas mengajar, ditambah dengan mekanisme MBG, disini saya serahkan kepada Wakasek kesiswaan untuk melibatkan peran siswa,” pungkas Ati.
Ditambah, program yang menjadi unggulan presiden Prabowo tersebut tidak melibatkan para pelaku usaha kecil atau UMKM. Proyek besar tersebut belum seperti kata Luhut yang katanya “menghidupkan ekonomi desa” karena standar yang begitu tinggi.(Sin/clue)