Direksi Perumda Tirta Rangga Subang saat mempelajari manajemen air dan NRW untuk industri di Krakatau Tirta Industri (KTI), Banten.

Oleh Lukman Nurhakim

Dirut Perumda Tirta Rangga Subang

Jawa Barat disebut sebagai lumbung air. Masyarakatnya menggunakan air lebih dari cukup. Bahkan sudah masuk kategori boros air.

Standar penggunaan air menurut WHO itu 60 liter per hari, warga Jabar menggunakan air mencapai 200 liter per hari. Itu berdasarkan data dari Dinas Sumber Daya Air (SDA) Jawa Barat.

Dari mana sumber air yang digunakan? Sebenarnya ini yang jadi perhatian. Sebab, ada persoalan serius di wilayah Bandung Raya. Yaitu wilayah Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Bandung Barat dan Cimahi.

Cekungan Air Tanah (CAT) di wilayah tersebut dalam kondisi cukup kritis, menurun hingga 60-100 meter. Jika kita menggali sumur atau membuat sumur bor, semakin dalam untuk sampai ke titik air. Idealnya di kedalamab 20-40 meter sudah sampai ke titik air.

Demikian penjelasan dari Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan (PATGTL) Badan Geologi pada Februari 2023 lalu.

Lalu apa penyebabnya?

Pengeboran air bawah tanah untuk industri menjadi penyebab yang paling dominan. Rata-rata industri mengebor hingga kedalaman 30 meter hingga 200 meter. Tergantung kebutuhan debit dan kualitas air yang diinginkan.

Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan (PAGTL) Badan Geologi Kementerian ESDM juga merilis sejumlah daerah dengan cekungan air tanah yang sudah kritis.

Yaitu Bandung, Jakarta, Semarang, Tangerang, Metro, Kota Bumi Lampung, Palangkaraya, Banjarmasin, Ngawi dan Ponorogo.

Beberapa kota atau wilayah di Jabar malah sudah masuk kategori  rusak antara lain cekungan air tanah Bandung-Soreang, Bogor, Purwakarta dan Bekasi.

Selain karena faktor penggunaan air bawah tanah skala massif, penggundulan hutan atau berkurangnya daerah respan air di hulu juga menjadi penyebab.

Bagaimana kondisi CAT di Subang? Dalam data penelitian Ahmad Komarudin dkk (2016), CAT wilayah Subang dalam rentang 20 meter yang terdalam dan 6 meter yang paling dangkal. Masih normal.

Yang terdalam di wilayah Subang selatan sedangkan yang terdangkal di wilayah Pantura. Wilayah selatan masuk zona akuifer tertekan (unconfined aquifer), bisa didapatkan dengan menggali sumur manual atau sumur pantek dengan kedalaman hingga 20 meter.

Sebaliknya, wilayah utara Subang, merupakan wilayah akuifer semi tertekan. Bisa lebih mudah mendapatkan air. Tapi saat kemarau, air menyusut dan mengering lebih cepat dibanding wilayah selatan.

Tapi itu data lama, tahun ini situasinya pasti sudah berbeda. Kekeringan panjang dalam dua bulan terakhir mulai terasa dampaknya. Masyarakat di wilayah Subang selatan pun sudah teriak kesulitan air. Sumber dari mata air banyak yang sudah mengering.

Setiap minggu BPBD, PMI, Perumda Tirta Rangga dan sejumlah perusahaan swasta hingga polisi dan TNI selalu mendapat permintaan bantuan air bersih.

Perusahaan pengelolaan air, PDAM terkena imbas kondisi tersebut. Pada umumnya, PDAM mengolah air dari berbagai sumber. Mulai dari mata air, sungai dan sumur dalam.

Anda bisa cari di google, sejumlah PDAM di Indonesia mulai kesulitan melayani pelanggannya. Debit air dari sungai dan mata air berkurang drastis. Malah ada mata air yang mengering.

Beruntung, Perumda Tirta Rangga Subang masih bisa melayani pelanggan secara normal. Meskipun tak lepas dari pengaruh kekeringan panjang ini.

Misalnya, debit mata air di Cileuleuy Jalancagak mulai berkurang. Berpengaruh pada ketinggian genangan air yang ditarik oleh pompa. Kami lakukan upaya bendung aliran air dari mata air.

Kami mohon maaf kepada pelanggan di wilayah Jalancagak terpengaruh atas kondisi tersebut. Sejumlah titik mendapat giliran distribusi air. Tidak mengalir 24 jam.

Dalam waktu dekat juga akan dilakukan penggantian pompa dengan kapasitas daya sedot air lebih besar. Dari kapasitas 11 kw ke 22 kw. Juga sudah kami lakukan rehab jaringan pipa kecil di sejumlah titik.

Sungai Cibodas di Kalijati juga harus dibendung agar bisa ditarik pompa ke WTP Kalijati. Sebab debit air terus menyusut.

Beruntung, mata air Cibulakan yang memasok air untuk wilayah Kota Subang dan mata air Cipondok, Kasomalang untuk wilayah Kasomalang, Cisalak dan Jalancagak masih normal.

Tapi, kami harus antisipasi untuk wilayah Kalijati dan Subang kota. Sebab kebutuhan air bersih wilayah kota Subang, Kalijati, dan Purwadadi terus meningkat. Kami pertimbangkan untuk menambah instalasi pengolahan air (IPA).

Di tengah keterbatasan Perumda Tirta Rangga, kami berharap industri harus berpikir berkali-kali agar tidak terus menerus menggunakan air bawah tanah.

Memang, menggunakan air bawah tanah, membangun sumur bor biayanya lebih murah. Dibanding menggunakan air dari PDAM, tapi dampak lingkungan akan lebih mahal.
Warga di sekitar industri akan sulit mendapat air bawah tanah, penurunan permukaan tanah dan cekungan air tanah.

Memang benar, Perumda Tirta Rangga masih terbatas. Beberapa wilayah tidak sanggup distribusi 24 jam. Juga tidak akan terhindar dari resiko perbaikan pipa: akibatnya, layanan akan off.

Air untuk industri tidak boleh off. Beban puncak penggunaan air harus terjadwal dan dipantau 24 jam. Lebih baik pipa dedicated (khusus) untuk pabrik. Tidak digabung dengan pelanggan rumah tangga. Kualitas pipa harus yang terbaik.

Ilmu itu yang kami dapatkan saat belajar ke Krakatau Tirta Industri (KTI), Provinsi Banten akhir bulan September lalu.

Tapi, kami pun masih bisa melayani industri untuk wilayah Purwadadi, Pabuaran, Pamanukan, Ciasem dan Blanakan. Kami sangat siap. Masih ada air tidak terpakai (idle capacity). Selain industri, hotel dan perkantoran sebaiknya segera beralih dari eksploitasi air bawah tanah.

Bukan berarti ini promosi, tapi kehadiran Perumda (PDAM) adalah kepanjangan tangan pemerintah untuk menjaga ekosistem lingkungan. Menjaga air bawah tanah agar tetap aman. Sebelum semuanya terlambat.(*)

By Redaksi

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *