Berstatus Kabupaten Layak Anak, Kekerasan pada Anak di Subang Masih Marak

Kapolres Subang bersama jajaran Satreskrim saat konferensi pers. Foto: Humas Polres Subang.

Subang – Masih melekat dalam ingatan kita, sosok Alby Ruffi Ozara (9), bocah SD di Blanakan, Subang, meninggal dianiaya sesama temannya. Kasus tersebut terjadi pada November tahun lalu.

Tak hanya kasus Alby, sepanjang tahun 2024, kekerasan terhadap anak di Kabupaten Subang tercatat masih tinggi. Kekerasan seksual menjadi kasus yang paling dominan.

Terbaru, viral di media sosial pelecehan yang dilakukan oleh pedagang bakso keliling kepada anak di Ciasem, Subang, pada Kamis (15/05/25) sore.

Pelaku berinisial S (53), diduga melakukan perbuatan cabul terhadap korban berinisial NK (17) dengan modus memberikan imbalan berupa bakso gratis. 

“Ini bagian dari komitmen Polres Subang dalam melindungi hak-hak anak dan menindak tegas pelaku kejahatan seksual,” kata Kapolres Subang, AKBP Ariek Indra Sentanu, Jum’at (23/05/25).

Kasus ini menambah kelam rentetan kekerasan yang menimpa korban anak di Kabupaten Subang, yang berstatus Kabupaten Layak Anak (KLA) pada 2024. 

KLA merupakan penilaian dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) RI bagi Kabupaten atau kota yang memenuhi kriteria penilaian pemenuhan hak anak dan perlindungan anak. 

Fenomena “Gunung Es”

Dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Perempuan, Anak, Disabilitas, pada 24 April 2025, Kepala Badan Perencanaan, Pembangunan, dan Penelitian Daerah (BP4D) Subang, Iwan Syahrul Anwar, memaparkan terdapat 44 kasus pelecehan seksual yang korbannya anak-anak di tahun 2024.

Kepala BP4D Subang, Iwan Syahrul Anwar saat pemaparan di Musrenbang pada April lalu. Foto: Cluetoday.

Selain pelecehan seksual, jenis kekerasan lainnya yang juga banyak terjadi adalah kekerasan fisik dengan 20 kasus, dan persetubuhan sebanyak 16 kasus. 

Jumlah ini menunjukkan bahwa anak tidak hanya menjadi korban kekerasan seksual, tapi juga mengalami kekerasan fisik dalam berbagai bentuk, baik di dalam rumah maupun lingkungan sosial lainnya.

Tak hanya itu, kasus bullying terhadap anak juga tercatat sebanyak 5 kasus, yang kemungkinan besar terjadi di lingkungan sekolah atau lingkungan bermain. 

Sementara penelantaran anak dan kekerasan psikis masing-masing tercatat sebanyak 4 dan 2 kasus. Bahkan eksploitasi anak pun tetap terjadi, meski hanya tercatat 1 kasus secara resmi.

“Ini yang coba kita antisipasi lima tahun kedepan,” kata Iwan, dalam paparannya.

Kondisi ini menggambarkan bahwa anak-anak di Kabupaten Subang masih berada dalam situasi rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan, baik fisik, emosional, maupun seksual.

Angka-angka ini bisa jadi hanya puncak dari gunung es, karena banyak kasus kekerasan terhadap anak yang tidak dilaporkan karena alasan takut, malu, atau tekanan dari pelaku yang biasanya merupakan orang terdekat.

“Catatan penting dari angka ini, jangan-jangan fenomena Gunung Es. Yang terlaporkan ke Kita segini angkanya, tapi yang tidak terlaporkan (mungkin) jauh lebih banyak,” terang Iwan.  

Pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya dituntut untuk lebih proaktif menciptakan lingkungan aman bagi anak. 

Upaya perlindungan anak tidak bisa berjalan sendiri. Diperlukan sinergi lintas sektor: antara pemerintah daerah, sekolah, aparat penegak hukum, media, dan komunitas masyarakat sipil untuk membangun sistem perlindungan menyeluruh yang berpihak pada kepentingan terbaik anak.

Langkah preventif seperti pendidikan seksualitas usia dini, pelatihan deteksi dini bagi guru dan orang tua, serta peningkatan layanan pengaduan dan pendampingan psikologis menjadi sangat mendesak.

Selain itu, penting juga untuk memperluas literasi digital dan perlindungan anak di dunia maya.

“Ini PR (pekerjaan rumah) buat kita, mudah-mudahan untuk memformulasi sebuah kegiatan, kebijakan, yang menekan kasus (kekerasan pada) perempuan dan anak,” jelasnya. 

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *