JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan respons terhadap pengakuan Agus Rahardjo, mantan Ketua KPK periode 2015-2019 terkait Kasus e-KTP.
Baru-baru ini Agus Raharjo mengungkapkan adanya intervensi dari presiden terkait penanganan kasus e-KTP yang melibatkan Setya Novanto pada 2017 silam.
Jokowi merespons dengan menyatakan bahwa ia telah memerintahkan Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) untuk memeriksa agenda pertemuan sebagaimana disampaikan oleh Agus.
Namun, menurut Jokowi, hasil pemeriksaan tersebut, tidak menunjukkan adanya agenda terkait.
“Saya suruh cek di Setneg, enggak ada. Agenda yang di Setneg enggak ada, tolong dicek, dicek lagi saja,” ungkap Jokowi di Istana Negara, Senin (4/12/2023).
Presiden juga mengajak publik untuk mencari rekam jejak digital atau berita pada tahun 2017, menegaskan bahwa pada saat itu, ia telah memerintahkan penanganan kasus Setnov sesuai ketetapan hukum yang berlaku.
“Terus untuk apa diramaikan itu, kepentingan apa diramaikan itu, untuk kepentingan apa?” tanya Jokowi.
Sebagai informasi, pada saat itu Setya Novanto, yang merupakan Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar, telah diumumkan sebagai tersangka oleh KPK pada 10 November 2017. Setnov kemudian dijatuhi hukuman pidana kurungan selama 15 tahun.
Sebelum Agus Rahardjo mengungkapkan kesaksiannya, ia menyampaikan permintaan maaf dan merasa perlu menjelaskan kejadian tersebut.
Agus kemudian menjelaskan bahwa pada saat kasus e-KTP, ia dipanggil sendirian oleh Presiden Jokowi, ia juga sempat merasa heran dengan panggilan tersebut.
“Dipanggilnya bukan lewat ruang wartawan tapi lewat masjid kecil,” kata Agus dalam program Rosi Jumat (1/12/2023).
Agus mengungkapkan bahwa saat itu, Presiden Jokowi sudah marah dan meminta agar penanganan kasus Setnov dihentikan.
Namun, Agus tidak menjalankan perintah tersebut karena Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) sudah ditandatangani oleh pimpinan KPK sebelum pertemuan tersebut.
Menurut Agus hal tersebut kemudian berimbas pada perubahan Undang-undang KPK. Dimana revisi tersebut menetapkan sejumlah perubahan signifikan, termasuk penempatan KPK di bawah kekuasaan eksekutif dan kemampuan untuk menerbitkan SP3.(Clue)