Bulan Matahari Subang

Oleh Lukman Enha

Malam 3 november, hanya beberapa jam menjelang penetapan daftar calon tetap DPR, Agus Masykur diselimuti rasa haru. Itu malam terakhir jadi wakil bupati Subang.

Memang belum genap 5 tahun. Seharusnya berhenti 19 Desember 2023. Tapi sistem Pilkada serentak 2024 mengharuskan Agus Masykur pamit duluan.

Kang Akur-nama panggung politiknya-ikut bertarung di Pileg 2024 yang akan digelar Februari. Menjalankan tugas partai, membesarkan PKS di Subang. Maju sebagai calon anggota DPR RI. Kontestan diharuskan mundur dari jabatan wakil bupati.

Apakah Agus Masykur akan nyalon lagi di Pilkada Oktober 2024? Jika terpilih sebagai anggota DPR RI, belum tentu mau lagi jadi calon wakil bupati 2024.

Gaji dan fasilitas anggota DPR RI memang menggiurkan. Simak saja podcast Krisdayanti yang viral. Jika dirata-ratakan bisa lebih dari Rp 120 juta tiap bulan, gaji dan tunjangan yang akan diterima wakil rakyat di Senayan sana.

Tanpa harus menghadapi unjuk rasa, tekanan partai, tekanan sana-sini yang kerap dirasakan kepala daerah.

Tapi kalau Kang Akur tidak terpilih, tentu akan pikir-pikir untuk nyalon kembali. Apalagi jika kursi PKS di Subang bertambah sampai 10 kursi, bisa nyalon tanpa koalisi.

Begitulah pertaruhan sebagai ketua partai. Harus berani nyalon kepala daerah. Ketua partai provinsi harus berani nyalon gubernur. Ketua umum partai, harus berani nyalon presinden.

Modal dasarnya: popularitas dan elektabilitas. Tapi banyak juga ketua partai yang tidak punya dua kapasitas itu.

Beruntung, Agus Masykur sudah komplit. Hampir tiga periode jadi anggota DPRD Subang, satu periode Wakil Bupati Subang. Ketua partai PKS pula. Sudah matang. Padahal masih muda. Agustus tahun ini 51 tahun.

Tapi inilah Kang Akur. Berhasil menempatkan diri sebagai bulan. Yang menjadi matahari cukup bupati. Ia tahu diri, banyak pasangan kepala daerah tidak harmonis gara-gara keduanya ingin jadi matahari. Saling tikung, ribut di tengah jalan. Rakyat yang dirugikan.

“Saya bulan, kang Haji Ruhimat matahari. Jangan jadi matahari dua-duanya,” kata Kang Akur di atas panggung momen perpisahan.

Mengawali sambutan, matanya berkaca-kaca. Mengenang perjalanan lima tahun bersama Ruhimat. Sesekali menyeka air mata di balik kacamatanya.

“Saya teringat perkataan Mimih (panggilan istri Ruhimat). Sebelum Pilkada 2018 lalu. Urang mah, mun kapilih ulah pasea. Kudu akur. Alhamdulillah, sekarang malam terakhir,” kata Agus, terisak.

Di meja baris depan, Mimih-sapaan akrab Yoyoh-istri Ruhimat, tampak menahan tangis haru. Hadirin tepuk tangan.

Malam itu, Jimat-Akur berangkulan. Video, slide foto perjalanan keduanya ditampilkan di layar lebar. Aula Pemda pun penuh sesak dihadiri undangan.

Keduanya berusaha menampilkan teladan pasangan bupati dan wakil bupati yang harmonis. Agus ibarat bulan yang teduh, Ruhimat ibarat matahari yang bersinar. Episentrum segala kebijakan di Pemkab Subang.

“Terimakasih adiku, selamat berjuang di tempat yang lain. Terimakasih atas kebersamaan selama ini,” kata Jimat, melepas Agus Masykur.

Tapi, bukan tanpa cela. Rumor kerenggangan Jimat-Akur pernah terdengar. Sejumlah baligo agenda pemerintah pernah terpampang tanpa ada foto Agus Masykur. Juga Agus pernah tidak setuju Jimat berlabuh di PDIP.

Tapi itu tidak lama. Jimat-Akur kembali akur. Putih PKS, merah PDIP bisa harmonis. Sayup terdengar jargon koalisi merah putih.

Keduanya sering kompak menghadiri beragam kegiatan. Saling memuji di atas panggung. Melengkapi seperti bulan matahari.

Sebentar lagi keduanya mengakhir masa tugas. Beberapa kali gerhana bulan dan gerhana matahari di langit politik Subang. Semoga tidak terjadi lagi.(*)

By Redaksi

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *