JAKARTA – Pemerintah Presiden Prabowo Subianto bersama Bank Indonesia (BI) resmi mengaktifkan kembali skema burden sharing. Kebijakan yang sempat di pakai di masa pandemi COVID-19 ini kini di hidupkan lagi untuk mendukung program-program ambisius Prabowo, mulai dari pembangunan rumah rakyat hingga koperasi desa.
Skema burden sharing berarti BI ikut menanggung sebagian beban bunga Surat Berharga Negara (SBN) yang di terbitkan pemerintah. Dengan begitu, ruang fiskal negara menjadi lebih longgar untuk membiayai program prioritas. Hingga awal September 2025, BI sudah membeli SBN di pasar sekunder dan lewat mekanisme debt switching senilai Rp200 triliun.
Dana dari skema ini diarahkan untuk program besar Prabowo. Antara lain membangun 3 juta rumah terjangkau per tahun, serta mendorong 80.000 koperasi desa dengan fasilitas pinjaman hingga Rp3 miliar per koperasi. Proyek ini disebut sebagai strategi “ekonomi kerakyatan” yang jadi fondasi pemerintahan baru.
Namun langkah itu segera menuai sorotan. Banyak pengamat menilai burden sharing kali ini lebih sarat muatan politik ketimbang sekadar instrumen darurat.
“BI sekarang terlalu jauh masuk ke ranah fiskal. Ini berpotensi merusak reputasi BI sebagai lembaga independen,” kata Wijayanto Samirin, ekonom Universitas Paramadina dan mantan penasihat Wakil Presiden, mengutip Reuters (8/9/2025).
Kekhawatiran lain muncul dari sisi stabilitas moneter. Menurut ekonom Rizal Taufikurahman dari Indef, pembelian besar SBN oleh BI memang memperluas ruang fiskal pemerintah. Namun, tanpa kebijakan penyeimbang, langkah itu bisa di baca pasar sebagai bentuk fiscal dominance.
“Kalau investor melihat BI tidak lagi independen, kepercayaan akan luntur. Ujungnya, rupiah tertekan dan inflasi bisa melonjak,” ujar Rizal.
Burden Sharing dan Potensi Inflasi
Hal senada disampaikan Jahen Rezki, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia. Ia mengingatkan pengalaman Turki, di mana intervensi berlebihan pemerintah terhadap bank sentral berujung pada inflasi tinggi dan depresiasi mata uang.
Di tengah kritik, BI berusaha meyakinkan publik bahwa kebijakan ini bersifat terbatas dan terukur. Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan burden sharing tidak akan menjadi kebijakan permanen.
“Sinergi fiskal dan moneter ini hanya ditempuh pada kondisi tertentu. Kami tetap menjaga mandat utama BI, yaitu stabilitas inflasi dan nilai tukar,” katanya dalam konferensi pers.
Bagi pemerintah, burden sharing adalah jalan keluar untuk mempercepat realisasi program populis Prabowo tanpa menambah beban utang komersial yang lebih mahal. Namun bagi sebagian ekonom, kebijakan ini ibarat pedang bermata dua.
Di satu sisi, ia memberi ruang fiskal besar untuk proyek rakyat. Di sisi lain, jika salah kelola, justru bisa menciptakan krisis kepercayaan, memicu inflasi struktural, dan melemahkan posisi BI di mata investor global. (clue)