SUBANG – Clue Academy menggelar diskusi publik bertajuk “Subang Darurat Miras” pada Senin (6/11/2023) di More Coffee and Space. Diskusi ini merupakan respon terhadap kasus tewasnya belasan warga Subang akibat miras oplosan pada Minggu (29/11/2023) lalu.
Para pemangku kebijakan, pengamat kebijakan publik, praktisi hukum, pemuka agama, akademisi, mahasiswa, organisasi kepemudaan, LSM, hingga para pemimpin redaksi media turut hadir dalam diskusi tersebut.
Salah satu isu yang mencuat dalam diskusi “Subang Darurat Miras” adalah regulasi Peraturan Daerah (Perda) No. 5 Tahun 2015 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol di Wilayah Kabupaten Subang.
Pengamat kebijakan publik, Ahmad Sobari memaparkan beberapa kelemahan dalam Perda tersebut. Mulai dari strategi, implementasi, sumber daya, pembiayaan, dan struktur birokratis yang masih panjang dalam menangkap kondisi faktual di Kabupaten Subang.
“Sisi kelemahan/kekurangan di aspek regulasi ini mungkin terletak pada strategi pengawasan pengendali, yang harus dilakukan secara preventif mulai dari surat izin, peredaran, pelaksanaan, hingga kepada masyarakat,” jelas H. Ahmad Sobari.
Dirinya juga membahas implementasi Perda No. 5 Tahun 2015. Ahmad Sobari mempertanyakan mengenai sistem yang lebih mendalam untu memastikan setiap organisasi perangkat daerah (OPD) bisa menjalankan tugas dan fungsinya.
Ahmad Sobari berharap diskusi ini dapat membantu mengidentifikasi langkah-langkah konkret dalam penanganan darurat miras yang telah merenggut nyawa di Subang.
“Mudah-mudahan diskusi ini menjadi wacana untuk memberikan masukan untuk masa yang akan datang, terutama kepada pemangku kebijakan,” pungkasnya.
Menanggapi hal tersebut, Pemimpin Redaksi Galagala, Dally Kardilan menyayangkan adanya Perda Miras yang tidak diatur selanjutnya dalam Peraturan Bupati (Perbup).
“Setiap kali ada Perda, jarang ada peraturan bupatinya. Perda yang dibuat tidak ada gunanya. Menyesalkan setiap kali ada kasus, pemerintah hanya memandang sebagai tragedi kemanusiaan. Tidak mengedepankan langkah preventif,” tegas Dally.
Pernyataan Dally diperkuat oleh pemimpin redaksi Tintahijau, Annas Nasrullah yang menyayangkan tidak adanya pergerakan atau aksi dari Perda No. 5 Tahun 2015.
“Perda No. 5 Tahun 2015 berdarah – darah tapi tidak murah, amat disesalkan karena tidak ada pergerakan. Negara jangan sampai kalah oleh miras. Apa yang akan dilakukan Satpol PP ketika sudah jatuh korban?” tanya Annas.
Sementara itu, praktisi hukum, Asep Rohman Dimyati mengungkapkan bahwa permasalahan miras memang menjadi tanggungjawab bersama. Namun bukan berarti pemerintah sepenuhnya melepas tanggung jawab.
“Perda ini tidak berfungsi. Perda No.5 Tahun 2015 ini untuk apa dibuat kalau tidak dilaksanakan? UU No. 2 Tahun 2022 tentang tugas pokok kepolisian mengatur. Apakah ada anggaran dari APBD untuk penegakan Perda Miras ini?” ungkapnya.
Menanggapi persoalan tersebut, Kasie Penyelidikan dan Penyidikan Satpoldam Kabupaten Subang, E.Sunanta, S.Sos, MM mengatakan bahwa pihaknya memiliki banyak keterbatasan dalam rangka penegakan Perda miras tersebut.
“Hal ini diluar dugaan, ada keterbatasan sehingga ada kejadian kemarin. Tidak bisa mencakup seluruh wilayah. Sehingga mengharapkan peran serta masyarakat. Dengan adanya menaati peraturan, itu sebagai salah satu keberhasilan,” ucapnya.
Pernyataan Kasie Penyelidikan dan Penyidikan Satpoldam Kabupaten Subang langsung direspon oleh Asmil selaku warga sipil yang menghadiri diskusi tersebut. Dirinya mengaku bingung mengenai prosedur pelaporan peredaran miras oplosan.
“Kita dari tadi hanya saling menyalahkan. Lalu solusinya apa? Kami disuruh terlinat tapi kami sendiri tidak tau harus kemana kami melapor. Tidak pernah ada sosialisasi mengenai prosedur pelaporan ini untuk kami masyarakat sipil,” tegasnya.
Menutup diskusi, Ketua Presidium KAHMI, Atep, menyampaikan ada masalah dalam instrumen sistem kebangsaan.
“Khususnya dalam tubuh Aparat Penegak Hukum. Teramanahi dalam sistem adalah pemerintah. Kadang-kadang tidak sinergis. Kegiatan ini harus ada tindak lanjutnya,” pungkasnya. (clue)