Jakarta – Kebijakan tarif resiprokal yang diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengguncang pasar global dan menimbulkan dampak signifikan terhadap perekonomian dunia, termasuk Indonesia.
Langkah tersebut untuk menekan defisit perdagangan AS. Hal itu telah memicu reaksi keras dari negara-negara mitra dagang, termasuk Tiongkok dan Indonesia.
Salah satu reaksi tercepat datang dari China. Negeri Tiongkok langsung mengenakan tarif sebesar 34% terhadap barang-barang asal AS dan menambahkan 11 perusahaan Amerika ke dalam daftar entitas yang tidak dapat diandalkan. Dampaknya terasa di pasar saham global.
Dampak Tarif Trump : Saham Anjlok

Mengutip dari CNBC International, indeks Dow Jones Industrial Average anjlok hingga 1.500 poin dalam dua hari berturut-turut. Saham perusahaan teknologi seperti Apple dan Nvidia masing-masing turun 7%, sementara Tesla merosot hingga 10%. Harga minyak juga terjun bebas, anjlok 8% dan menyentuh titik terendah sejak pandemi COVID-19 tahun 2021.
Ketua The Federal Reserve, Jerome Powell, menyampaikan kekhawatirannya terhadap efek kebijakan ini terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi AS. Ia mengatakan.
“Kami dalam posisi untuk menunggu kejelasan sebelum mempertimbangkan penyesuaian pada kebijakan kami. Masih terlalu dini mengatakan jalur yang tepat untuk kebijakan moneter,” ujar Jerome.
Dampak tarif Trump juga dirasakan kuat oleh sektor tekstil Indonesia. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa, dalam konferensi pers mengatakan bahwa sekitar 35–40% ekspor tekstil Indonesia ditujukan ke AS. Dengan pakaian jadi menyumbang 60–70% dari total tersebut.
“Tarif ini berlaku sangat cepat. Kalau biasanya ada masa tenggang yang panjang, kali ini maksimal seminggu sudah langsung diterapkan,” ujarnya, Jumat (4/4/2025).
Trump Ingin Memangkas Defisit Perdagangan
Menurut Jemmy, kebijakan Trump bertujuan memangkas defisit perdagangan AS dengan Indonesia yang mencapai USD17 miliar. Ia mengingatkan bahwa respon yang salah dari pemerintah Indonesia dapat memperburuk tekanan terhadap sektor tekstil dalam negeri dan memperparah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Jangan sampai kita merespons dengan langkah yang keliru, seperti melonggarkan aturan impor atau melemahkan regulasi TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri). Itu justru akan merugikan kita sendiri,” tegasnya.
Ketua API Jawa Barat, Ian Syarif, juga menambahkan bahwa kenaikan harga akibat tarif akan menekan daya beli konsumen Amerika. Hal ini, berujung pada penurunan permintaan produk tekstil dari Indonesia.
Tentunya, hal ini mengundang kekhawatiran akan menyebabkan overproduksi di dalam negeri dan memicu banjirnya produk asing ke pasar lokal.
“Jangan sampai Indonesia jadi tempat pembuangan barang-barang sisa ekspor dari negara-negara pesaing kita,” kata Ian.
Hanif : Kebijakan Trump Adalah “Alarm Berbahaya”
Peringatan serupa datang dari Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Hanif Dhakiri. Ia menyebut kebijakan tarif Trump sebagai “alarm bahaya” bagi industri padat karya dan jutaan pekerja Indonesia.
Dalam pernyataan yang mengutip Kumparan, Hanif menyatakan bahwa sejak 2 April 2025, AS menerapkan tarif dasar 10% untuk seluruh impor global, dengan tambahan 32% khusus untuk Indonesia.
“Ini bukan sekadar urusan dagang, tapi pukulan langsung ke industri padat karya dan jutaan pekerja. Pemerintah tak bisa hanya berdiri di pinggir lapangan. Harus turun tangan penuh,” tegasnya.
Ia menyoroti bahwa ekspor utama Indonesia ke AS meliputi alas kaki, tekstil dan garmen, minyak nabati, serta alat elektronik.
Dengan nilai ekspor mencapai USD31 miliar pada 2023, AS adalah pasar ekspor terbesar kedua bagi Indonesia. Jika tidak ada penanggulangan, Hanif memperkirakan dampaknya akan luas: penurunan ekspor, meningkatnya PHK, lonjakan inflasi, dan penurunan daya beli masyarakat.
Ia juga menekankan pentingnya diversifikasi pasar ekspor ke wilayah BRICS dan Afrika, serta penguatan sektor UMKM dan industri berbasis bahan baku lokal.
“Tarif AS harus kita jawab dengan keberanian industrialisasi. Produk lokal tak boleh hanya bertahan—harus maju dan menembus pasar baru,” ujarnya.
Menutup pernyataannya, Hanif mengingatkan pentingnya investasi jangka panjang pada sumber daya manusia, terutama pekerja migran yang menyumbang devisa hingga USD14 miliar pada tahun lalu.
“Mereka bukan beban, tapi kekuatan. Kalau dikelola serius, lima hingga sepuluh tahun ke depan mereka bisa jadi pilar ekonomi nasional,” pungkasnya.
Dengan ketidakpastian global yang semakin meningkat, sinergi antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat menjadi kunci untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional dan memastikan perlindungan terhadap jutaan tenaga kerja yang bergantung pada sektor ekspor.(clue)
Baca juga : https://cluetoday.com/gegara-tarif-trump-bursa-saham-global-berguguran-dan-potensi-resesi-kian-nyata/
Follow kami : https://www.instagram.com/cluetoday_?igsh=MWU2aHg0a3g2dHlvdg==