Jawa Barat – Nama Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi tengah menjadi sorotan sejumlah media asing. Wacana kontroversial terkait vasektomi sebagai syarat penerima bantuan sosial (bansos) serta program kamp militer untuk remaja yang digagasnya menuai perhatian internasional.
Mengutip dari Antaranews, wacana vasektomi ini pertama kali mencuat ketika Dedi menyampaikan usulan tersebut pada akhir April 2025. Saat itu, Dedi mengusulkan agar suami dari keluarga penerima bansos mengikuti program vasektomi sebagai bagian dari pengendalian kelahiran.
“Jangan membebani reproduksi hanya pada perempuan. Perempuan jangan menanggung beban reproduksi. Harus laki-laki,” ujar Dedi, Senin (28/4/2025).
Namun, wacana ini justru memicu perdebatan, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Media asing seperti Channel News Asia (CNA) menyoroti wacana tersebut dalam artikel berjudul
“Innovative or Dangerous? Indonesia’s Local Leaders Raise Eyebrows with Vasectomy for Aid and Other Schemes.” CNA menyebut bahwa inisiatif Dedi termasuk kebijakan kontroversial yang menarik perhatian, terutama karena dianggap diskriminatif.
Laporan yang sama dari CNA juga mencatat bahwa sejumlah pemimpin daerah di Indonesia sering kali menggulirkan kebijakan baru dalam 100 hari pertama masa jabatan mereka, termasuk Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung yang berencana mendedikasikan sebuah pulau di Kepulauan Seribu khusus untuk kucing. CNA menilai kebijakan semacam ini dibuat untuk meningkatkan popularitas para pemimpin daerah.
Sementara itu, The Telegraph, media asal Inggris, menggarisbawahi bahwa usulan vasektomi bagi penerima bansos di Indonesia menjadi perdebatan sengit di negara dengan mayoritas penduduk Muslim. The Telegraph juga menyoroti kekhawatiran tentang potensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dari kebijakan tersebut.
Tak hanya soal vasektomi, Dedi juga disorot media asing terkait program kamp militer bagi remaja yang disebut sebagai upaya mendisiplinkan siswa bermasalah. Dalam laporan CNA, digambarkan bagaimana para remaja menggunakan seragam mirip militer dan menjalani pelatihan fisik seperti layaknya prajurit. Program ini, yang menargetkan hingga 2.000 siswa dengan anggaran Rp6 miliar, memicu pro dan kontra.
Kritik datang dari sejumlah anggota parlemen dan kelompok hak asasi manusia yang mempertanyakan efektivitas metode pendidikan tersebut.
Menanggapi berbagai sorotan, Dedi akhirnya membantah adanya kebijakan vasektomi sebagai syarat penerima bansos.
“Tidak ada kebijakan vasektomi. Tidak ada. Tidak ada. Tidak ada kebijakan itu. Bisa dilihat di media sosial saya,” tegasnya saat ditemui di Kantor Kementerian HAM, Jakarta, dikutip dari CNN Indonesia.
Dedi menjelaskan bahwa yang diusulkannya adalah penerapan program Keluarga Berencana (KB) bagi penerima bansos yang memiliki banyak anak.
“Para penerima bantuan [sosial] yang anaknya banyak, diharapkan [ikut] berkeluarga berencana. Kalau bisa yang melakukan laki-laki, dan tidak vasektomi saja. Kan, ada yang lain. Ada pengaman (kondom),” ujarnya.
Kontroversi terkait kebijakan Dedi ini mencerminkan bagaimana pemimpin daerah di Indonesia terkadang mengambil langkah-langkah ekstrem dalam menggulirkan program, yang meskipun bertujuan baik, justru menimbulkan polemik.(clue)