Fenomena Brain Drain Mengancam Kesuksesan Indonesia Emas 2045

Negara Indonesia beresiko mengalami brain drain, fenomena dimana tenaga kerja lebih berminat untuk bekerja di luar negeri dari pada di tanah air. Alasannya beragam. Menariknya, gaji yang tinggi bukan jadi alasan utama.

Mengutip dari Survei “Decoding Global Talent 2024: Tren Mobilitas Pekerja” yang dilakukan Jobstreet by SEEK bersama Boston Consulting Group dan The Network, alasan utama yang mendasari adanya keinginan untuk mencari pengalaman dan menunjang karir. Alasan ekonomi menjadi faktor kedua yang menunjang fenomena tersebut.

Indonesia beresiko kehilangan para pekerja di bidang digitalisasi, data science dan AI, karena 81 persen para pekerja bidang tersebut lebih berminat untuk bekerja di luar negeri.

“Kemungkinan karena sifat pekerjaan yang lebih terlokalisasi dengan peluang internasional yang terbatas,” hasil analisa survey tersebut.

Tren ingin pindah dan bekerja di luar negeri juga diikuti oleh profesi lain seperti engineering, Teknik, Design, Seni, profesi kreatif dan arsitektur.

Dengan begitu, tenaga kerja terampil disinyalir akan bermigrasi ke luar negeri dan Indonesia beresiko mengalami kesenjangan keterampilan.

Dalam jangka panjang, hal itu akan menghambat inovasi dan pembangunan karena kurangnya tenaga kerja terampil.

Para tenaga kerja dengan kualifikasi tinggi dan umur yang produktif juga sulit mendapat pekerjaan. Para Gen Z yang paling menonjol dalam bidang digitalisasi kesulitan untuk mencari kerja di Indonesia.

Mengutip laporan IMF, pada April 2024 lalu, Indonesia menjadi negara dengan pengangguran tertinggi di ASEAN dibandingkan dengan 6 Negara lainnya yaitu sebesar 5,2 persen. Nilai tersebut turun sebanyak  0,1 persen dari tahun sebelumnya yaitu 2023.

Para tenaga kerja Indonesia mengincar Jepang sebagai salah satu negara tujuan untuk bekerja. dari hasil survey yang sama, Jepang menjadi destinasi tempat kerja tertinggi yang diminati hingga 32 persen disusul oleh Australia 29 persen dan Singapura 19 persen.

Meskipun para tenaga kerja banyak yang ingin bekerja di luar negeri, namun durasi bekerja yang diinginkan oleh para tenaga kerja tidak tergolong lama. Para pekerja hanya ingin bekerja selama lebih dari tiga tahun dengan niat untuk kembali ke tanah air.

Hal itu tercantum dalam survey durasi tinggal di luar negeri yang diinginkan. Hasilnya sebanyak 29 persen hanya ingin bekerja lebih dari tiga tahun dengan niat untuk kembali, 23 persen tergantung pengalaman di luar negeri dan 19 persen dalam jangka waktu yang panjang.

Ditengah keinginan para tenaga kerja Indonesia yang ingin bermigrasi, Indonesia juga menjadi tujuan kerja bagi sejumlah negara. Malaysia menjadi negara yang paling ingin bekerja di Indonesia dengan persentase sebesar 6 persen, diikuti 3 persen Singapura dan 1 persen India.

Kainginan bekerja di Indonesia, 50 persennya didominasi oleh budaya Indonesia yang ramah dan iklusifitas, kualitas hidup serta kualitas peluang kerja.

Tentunya hal ini juga menjadi penting untuk dianalisa. Pasalnya, sebanyak 133.979 tenaga kerja asing (TKA) ada di Indonesia. Dari jumlah tersebut, China adalah negara yang paling mendominasi. Mengacu pada Badan Pusat Statistik (BPS) tenaga kerja China yang ada di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 82.623 pekerja di berbagai bidang.

Ketakutannya, peluang dan lapangan pekerjaan di Indonesia justru di isi oleh tenaga kerja asing. sementara, tenaga kerja Indonesia justru mencari memiliki ke luar negeri.

Fenomena tersebut disoroti oleh Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang yang meminta Komisi X DPR untuk mengatasi fenomena brain drain.

Ketua PPI Jepang Prima Gandhi berpendapat, jika kalau sebenarnya brain drain di kalangan pemuda-pemudi Indonesia yang berprestasi dan berpendidikan tinggi harus dihambat.

”Apalagi jika pemuda-pemudi tersebut pernah mendapatkan fasilitas negara seperti beasiswa, hibah riset dari pemerintah Indonesia,” katanya.

Fenomena brain drain bisa dihambat dengan reverse brain drain. Konsep tersebut dimaksudkan untuk menarik kembali tenaga kerja terampil tanah air agar mau bekerja di Indonesia.

Konsep tersebut pernah diterapkan China di tahun 1990. Pemerintah menerbitkan program Y1000T atau Youth Thousand Talent yaitu membuat program riset scientific, pembelajaran formal dan riset di universitas ternama.

Menghadapi bonus demografi, dan Indonesia Emas 2045, pemerintah sudah seharusnya menyiapkan program dan kebijakan untuk menghambat penurunan pembangunan akibat kurangnya inovasi dari tenaga kerja terampil.(sin/clue)

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *