Generasi Z: Sikap Kritis pada Politik dan Penolakan “Money Politic”

SUBANG – Dalam pemilu 2024, praktik politik uang yang melibatkan penggunaan uang dan sumber daya finansial untuk mempengaruhi suara pemilih, masih menjadi permasalahan yang banyak dibicarakan di masyarakat, terutama di Indonesia.

Hal ini juga sesuai dengan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa dari lebih dari 204 juta pemilih terdaftar, lebih dari 50% di antaranya adalah Generasi Z (lahir antara 1995 – 2010). Hasil ini jelas menunjukkan bahwa suara Generasi Z akan memainkan peran yang signifikan dalam menentukan arah politik Indonesia di masa depan.

Di samping itu, praktik politik uang telah menjadi hal yang biasa dan sering kali dianggap sepele meskipun merupakan pelanggaran serius, dan disebabkan oleh lemahnya sistem hukum. Namun, penelitian dari Political Statistics (Polstat) menunjukkan bahwa pemilih dari generasi muda, terutama Gen Z dan Milenial, memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap pengaruh politik uang.

Selanjutnya, peneliti Apna Permana mengungkapkan bahwa pemilih muda cenderung mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan rasional serta manfaat sosial yang ditawarkan oleh calon yang mereka pilih.

“Pemilih milenial dan Gen Z ini merupakan pemilih yang rasional, dia akan memilih suatu partai atau calon presiden dengan pertimbangan apakah partai atau pun orang yang akan menjadi seorang pemimpin itu bermanfaat bagi masyarakat,” ungkap Peneliti Political Statistics (Polstat), Apna Permana, dikutip dari nasional.okezone.com.

Hal ini pun menunjukkan bahwa meskipun politik uang masih ada, banyak pemilih muda yang telah memiliki pemahaman yang baik mengenai risiko dari praktik tersebut, sebagian besar berkat kemudahan akses informasi melalui internet tentunya.

Namun, di tengah kondisi ini, kelompok pemuda yang menyebut diri mereka Centenial Z juga mengeluarkan pernyataan menolak praktik politik uang dalam Pemilu 2024.

Terpisah, Dinno Ardiansyah, Ketua Centenial Z, menghimbau semua pihak yang terlibat untuk menggunakan pendekatan rasional dalam meraih dukungan dari Gen Z.

“Suara Gen Z tidak bisa dibeli. Oleh karena itu, siapa pun peserta pemilu nanti, harus menggunakan pendekatan politik rasional,” Ungkap Dinno Ardiansyah selaku Ketua Centenial Z, dikutip dari pemilu.tempo.co.

Apalagi untuk saat ini pun, Gen Z semakin kritis terhadap politik dan lebih memilih untuk memperjuangkan isu-isu sosial seperti hak asasi manusia, lingkungan, dan kesetaraan gender, serta memanfaatkan media sosial sebagai platform untuk mengekspresikan pendapat mereka. Contoh nyata dari penggunaan media sosial dalam gerakan politik dapat dilihat pada kampanye #TanpaNamaKampus, yang merupakan bagian dari gerakan #ReformasiDikorupsi.

Selain itu, Alexander Kaaba, Ketua Bawaslu Kabupaten Gorontalo, mengingatkan akan pentingnya keterlibatan aktif generasi muda dalam pengawasan pemilu. Ia menyerukan agar generasi Z tidak hanya berperan sebagai pemilih, tetapi juga berani melaporkan dugaan pelanggaran dalam pemilu.

“Jangan menjual hak anda untuk kepentingan oknum yang tidak bertanggung jawab, 35-40% pemilih anak muda akan berpengaruh terhadap hasil pemilu 2024. Mari sama-sama kita menjaga nilai-nilai integritas dan bersama Bawaslu bersama-sama mengawasi tahapan pemilu 2024,” Ungkap Alexander Kaaba selaku Ketua Bawaslu Kabupaten Gorontalo, dikutip dari rri.co.id

Namun, dalam konteks budaya, pemilih muda dipandang lebih rasional dan kritis terhadap isu-isu politik, dengan tantangan utama yang mereka hadapi mencakup biaya hidup yang tinggi, akses karir yang terbatas, serta masalah kesenjangan ekonomi.(clue)

By Redaksi

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *