Hasil Munas NU 2025: Laut Tak Boleh Dimiliki

Jakarta – Musyawarah Nasional (Munas) dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU) 2025 berlangsung di Hotel Sultan, Jakarta, pada 5-7 Februari 2025. Munas menghasilkan berbagai keputusan penting terkait isu-isu sosial, keagamaan, dan kebangsaan.

Berikut adalah beberapa keputusan utama dalam sidang Komisi Bahtsul Masail Waqi’iyah dan Maudhu’iyah.

Laut Tidak Boleh Ada Pemiliknya

Komisi Bahtsul Masail Waqi’iyah menetapkan bahwa laut merupakan milik bersama dan tidak boleh dimiliki oleh individu maupun korporasi. Rais Syuriyah PBNU, Muhammad Cholil Nafis, menegaskan bahwa dalam hukum Islam, laut termasuk dalam kategori maal al-musytarak. Artinya milik umum yang harus berada di bawah penguasaan negara.

“Laut itu menjadi maal al-musytarak, yang menjadi milik kita bersama, dan itu harus ada pada penguasaan negara,” ujar Kiai Cholil (6/2/2025).

Ia menambahkan bahwa negara tidak diperkenankan menerbitkan sertifikat kepemilikan laut kepada individu atau korporasi.

“Negara tidak boleh dalam hukum Islam memberikan hak milik kepada individu atau korporasi terhadap laut itu,” lanjutnya.

Kekerasan di Lembaga Pendidikan Dinyatakan Haram

Salah satu isu utama yang dibahas dalam Munas adalah kekerasan di lembaga pendidikan, termasuk pesantren. Ketua Sidang Komisi Bahtsul Masail Waqi’iyah, Muhammad Cholil Nafis, menyatakan bahwa kekerasan yang menyebabkan mudharat atau bahaya di lembaga pendidikan hukumnya haram.

“Adapun rinciannya akan dilanjutkan dalam forum Bahtsul Masail Maudhuiyyah atau forum Bahtsul Masail Syuriah,” ujarnya, (7/2/2025).

Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU, Alai Nadjib, menambahkan bahwa konsep pendisiplinan dalam Islam yang membolehkan memukul murid perlu kajian ulang.

“Apa pun tindakan seperti menyentuh murid dengan tangan atau alat, walaupun ringan seperti kertas, juga dianggap termasuk tindak kekerasan,” kata Alai.

PBNU kini telah membentuk satuan tugas antikekerasan untuk menanggulangi kasus kekerasan di lembaga pendidikan.

Keputusan Terkait Pajak dan Zakat

Mengutip dari Nu Online Banten, Munas NU 2025 juga merumuskan kebijakan terkait pajak dan zakat. Dalam konteks negara bangsa seperti Indonesia, negara boleh memungut pajak selama pajak tersebut untuk kesejahteraan rakyat.

“Pajak yang dipungut dari warga negara itu penggunaannya harus untuk sebesar-sebesarnya kemakmuran rakyat,” ujar K.H. Abdul Moqsith Ghazali, Ketua Komisi Bahtsul Masail Maudhu’iyah (6/2/2025).

Selain itu, zakat merupakan kewajiban yang berdasarkan pada kepemilikan kekayaan seseorang yang mencapai nisab dan bertahan selama satu tahun (haul).

Rasionalisasi Konsep Murur dan Tanazul dalam Haji

Munas juga menetapkan kebolehan murur dari Muzdalifah dan tanazul dari Mina sebagai pengganti pelaksanaan mabit. Kebijakan ini berdasar pada aspek udzur syar’i yang meliputi risiko tinggi, lansia, difabel, dan keterbatasan kapasitas lokasi mabit.

“Tidak di mungkinkan untuk diselenggarakan sepenuhnya mabit di Muzdalifah dan Mina,” jelas Abdul Moqsith Ghazali.

Munas NU 2025 berhasil menetapkan berbagai keputusan penting yang relevan dengan isu-isu keagamaan dan sosial saat ini. Dari larangan kepemilikan laut, pelarangan kekerasan di lembaga pendidikan, hingga kebijakan terkait zakat dan pajak. Seluruh keputusan ini harapannya membawa manfaat besar bagi umat dan masyarakat luas.(clue)

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *