Jejak Sejarah Tradisi Makan Daging Anjing di Soloraya

Foto : Kompas

SOLO – Kasus jagal anjing mencuat ke jagad media setelah aktivis pecinta hewan mengagalkan jalur distribusi anjing ke Jawa Tengah. Melalui pemberitaan media yang cukup massif, Masyarakat menyoroti perihal kuliner daging anjing yang banyak dijumpai di daerah Solo.

Solo merupakan daerah yang memiliki banyak hidangan daging anjing. Pasalnya, tradisi makan daging anjing tersebut bukanlah hal baru bagi Masyarakat Solo. Daging anjing telah dikonsumsi Masyarakat Solo sejak ratusan tahun lalu.

Sejarah mencatat bahwa tradisi konsumsi daging anjing di wilayah Soloraya muncul pada akhir abad ke-19. Tradisi yang telah lama sejak masa kolonial tersebut menjadikan Solo menjadi daerah paling dominan di Jawa Tengah sebagai sumber kuliner daging Anjing.

Menurut laporan Dog Meat Free Indonesia (DMFI) tahun 2020, sekitar 13.700 ekor anjing disembelih di Soloraya untuk dijadikan bahan konsumsi. Data tersebut menunjukkan bahwa Kota Solo merupakan daerah dengan tingkat konsumsi daging anjing tertinggi.

Tradisi ini tercatat dalam artikel Majalah Bromartani edisi 25 Agustus 1881, yang menjadi sumber tertua pada periode tersebut. Surat kabar berbahasa Jawa pertama kali terbit di Solo pada 25 Januari 1855.

Dalam artikel tersebut, Bromartani menceritakan warga Tionghoa di Solo yang mengonsumsi daging dan tulang anjing sambil mabuk-mabukan. Kebiasaan ini juga terkait dengan budaya mabuk-mabukan pada masa itu, yang menjadikan daging anjing sebagai hidangan ringan.

Menurut Heri Priyatmoko, seorang Dosen Sejarah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, anjing dibawa oleh bangsa Eropa di akhir abad ke-19 dan menjadi binatang tak bertuan di kawasan Asia Tenggara. Kesenangan konsumsi daging anjing kemudian dibawa oleh Belanda, diadopsi oleh pendatang Tionghoa, dan menjadi bagian dari kebiasaan penduduk Solo yang abangan-nonmuslim.

Berdasarkan ulasan dalam Majalah Bromartani, keberadaan Tionghoa yang membawa kebiasaan mabuk dan makan anjing mendapat dukungan dari kerajaan Solo. Di salah satu kampung di Solo, Gemblekan, penduduk Tionghoa diberikan kawasan khusus untuk mendirikan pabrik pengolahan arak.

Hingga saat ini, olahan daging anjing masih dikonsumsi oleh warga Soloraya. Kota Solo sendiri mencatat bahwa terdapat 22 warung yang menjual olahan daging anjing, dengan total pasokan sekitar 84 ekor anjing per hari dari puluhan warung yang mayoritas menyembelih sendiri atau mengambil pasokan dari warung besar.

Penelusuran Solopos.com pada November 2018 menemukan bahwa ada penyuplai yang memasok ratusan ekor anjing setiap pekan ke beberapa warung di Soloraya. Anjing-anjing ini biasanya dipasok dari daerah asalnya di Jawa Barat, terutama dari Tasikmalaya.

Penggunaan daging anjing yang menuai polemik telah banyak diperbincangkan sejak lama. Konsumsi daging anjing dilarang karena tidak sesuai dengan undang – undang Nomor 18 tahun 2012 Tentang Pangan. Dalam Undang – Undang tersebut, daging anjing tidak termasuk hasil pangan peternakan, kehutanan maupun jenis hasil pangan lainnya.

Proses penyembelihan anjing ini diwarnai oleh kurangnya perhatian terhadap aspek teknis kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan. Proses pemotongan daging anjing memiliki potensi untuk menularkan penyakit zoonosis seperti rabies, serta penyakit lainnya seperti salmonella, ring worm dan kecacingan.(clue)

By Redaksi

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *