BANDUNG – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi mengeluaran kebijakan pro kontra dengan mengatur jam masuk sekolah mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA).
Dalam Surat Edaran (SE) bernomor 58/PK.03/Disdik, pelajar akan masuk sekolah pukul 06.30 pagi. Selain mengatur soal jumlah jam Pelajaran (JP), SE tersebut mengatur bahwa sekolah akan berlangsung 5 hari (Senin-Jumat). Sebagai gantinya, KDM akan meniadakan Pekerjaan Rumah (PR). SE tersebut akan mulai diberlakukan pada tahun ajaran 2025-2026 di bulan Juli ini.
Kebijakan itu sontak mendapat berbagai reaksi. Meskipun KDM menggunakan kedisiplinan sebagai dasar keputusan, namun hal yang terabaikan adalah mental dan psikologis anak.
Psikologis Anak Belum Siap Menerima Pelajaran Bila Terlalu Pagi
Dari segi psikologis, jam belajar anak yang terlalu pagi juga tidak disarankan. Hal itu di ungkap Dosen Fakultas Psikologi Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani), Miryam Ariadne Sigarlaki. Ia mengungkapkan bahwa waktu paling optimal bagi anak dan remaja dalam menerima stimulus secara kognitif berada di rentang pukul 8.00 hingga 10.00 pagi.
Pada anak usia 6 hingga 12 tahun, kemampuan untuk berkonsentrasi dan memberikan atensi baru mencapai puncaknya setelah tubuh sepenuhnya terbangun. Serta dukungan asupan nutrisi dari sarapan. Sementara itu, pada usia 12 hingga 15 tahun, terjadi perubahan ritme biologis yang menyebabkan mereka cenderung tidur lebih larut dan bangun lebih siang.
Karena itu, pelaksanaan kegiatan belajar sebelum pukul 7.00 pagi kerap menghadapi kendala dalam aspek kognitif, seperti kemampuan mengingat, fokus, serta pengaturan emosi. Miryam menekankan bahwa pergeseran jam masuk sekolah ke waktu yang lebih pagi dapat berdampak pada waktu tidur. Anak-anak idealnya tidur selama 9–11 jam per hari. Sedangkan remaja membutuhkan 8–10 jam.
“Kalau sekolah dimulai pukul 6.00 maka sistemnya akan bergeser, anak-anak harus tidur dan bangun jam berapa? Kalau kondisi tubuh tidak siap, bisa jadi akan berpengaruh ke fungsi otak, lalu stres karena lelah fisik, serta cemas ke sekolah,” tutur Miryam, mengutip Pikiran Rakyat.

Perlu Penyesuaian Rutinitas Keluarga
Ia juga menyoroti pentingnya kesiapan orangtua dalam menghadapi perubahan jam masuk sekolah. Hal ini karena rutinitas keluarga perlu di sesuaikan. Termasuk penjadwalan ulang waktu tidur, belajar, penggunaan gawai (screen time), dan aktivitas lainnya.
Selain itu, pemenuhan kebutuhan gizi dan energi pada pagi hari menjadi aspek penting yang harus diperhatikan. Jika sekolah dimulai pukul 6.00, maka perlu dipikirkan ulang kapan waktu sarapan anak-anak, serta memastikan menu yang disajikan mampu memenuhi kebutuhan nutrisinya. Konsekuensinya, orangtua pun harus bangun lebih awal.
“Yang harus disiapkan sejak awal adalah psikologis dan emosional, baik anak, orangtua, sekolah, dan sistem pendukung lainnya. Pendidikan yang sehat tidak hanya berkaitan dengan akademik, tapi juga kondisi fisik, kognisi dan emosional anak,” ujar Miryam.
Selain psikolog, Rendy (25) seorang guru di SD Dahlia Pagaden, Subang juga merasa berangkat sekolah dengan “tergesa-gesa” dengan adanya kebijakan tersebut.
“Memang bagus untuk mendisiplikan anak, tapi saya merasa terlalu tergesa – gesa saat berangkat ke sekolah. Saya yang masih lajang pun merasa keberatan, apalagi yang sudah berkeluarga,” katanya.
Guru Ikut Tergesa – gesa
Menurut Rendy, kebijakan tersebut haruslah di kaji terlebih dahulu. Kebijakan yang berjalan di Purwakarta belum tentu sesuai dengan kondisi daerah lainnya.
Bukan hanya akademisi, orang tua yang menyiapkan anak – anak untuk berangkat sekolah juga merasa terbebani. Pasalnya, tak hanya harus bangun lebih pagi, di kota – kota besar seperti Bekasi, kemacetan lalu lintas membuat tingkat keterlambatan lebih tinggi lagi.
“Di Bekasi berangkat dari rumah paling telat jam 6.15, soalnya macet, apalagi pas mau masuk sekolahannya macet banget, enaknya berangkat jam 6. Tapi ya itu ngareog dulu sama anak – anak,” kata Ela (53) ibu 3 anak tersebut.
Sebelumnya, Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian mengatakan pihaknya akan melakukan kajian terlebih dahulu untuk menimbang dampak dari kebijakan tersebut. Sebab, kebijakan Dedi itu bukan yang pertama kali terjadi.
Jika masyarakat positif dan di nilai lebih banyak manfaatnya, menurut Hetifah, kebijakan Dedi itu perlu di pertimbangkan. Sebaliknya, jika banyak menuai pro-kontra di masyarakat, ia menyarankan agar Dedi membatalkan kebijakan.
“Karena tidak akan berkelanjutan kalau suatu kebijakan tidak mendapatkan penerimaan dari semua pihak termasuk orang tua. Kita juga banyak orang tua yang bekerja dan lain-lain,” pungkasnya.(clue)