Kontroversi Nyamuk Wolbachia, Mampu Tekan Kasus DBD?

Oleh Sinta Agustiana

Indonesia sudah mulai memasuki musim penghujan. Curah hujan sudah semakin meningkat mulai dari bulan oktober dan diperkirakan akan terus berlanjut hingga akhir tahun 2023 (BMKG). Penyakit DBD yang ditularkan nyamuk Aedes Aegypti menjadi penyakit musiman saat musim hujan.

Dengan dalih tersebut, pemerintah memilih untuk mencoba salah satu teknologi yang saat ini dikembangkan, yaitu teknologi Wolbachia. Namun saat ini, penyebaran nyamuk Wolbhacia menjadi pro kontra dan masih ditolak penyebarannya oleh warga Bali.

Apa itu Wolbachia?

Wolbachia adalah rekayasa genetika dengan menginjeksi nyamuk aides aegypti dengan bakteri Wolbachia. Wolbachia yang diinjeksi kedalam tubuh nyamuk aides aegypti berinteraksi dengan nyamuk yang tidak berwolbachia akan terjadi perkawinan silang dan menghasilkan telur infertile atau tidak subur. Sehingga tidak akan memiliki kemampuan untuk menginfeksi penyakit juga tidak akan berkembang biak.

Daisuke Kageyama, seorang peneliti dari Institut Agrobiological Science di Jepang dalam penelitiannya yang dipublikasi tahun 2012 mengungkapkan bahwa bakteri yang diinjeksi pada nyamuk Aides aegypti ini merupakan sejenis genus bakteri yang hidup sebagai bakteri parasite pada hewan artropoda. Bakteri tersebut akan menyebabkan parthenogenesis yaitu perkembangan sel telur yang tidak dibuahi, kematian hewan Jantan dan feminisasi (perubahan serangga Jantan menjadi betina). Bakteri ini tidak dapat tumbuh diluar tubuh inangnya.

Wolbachia Disebut Sebagai Nyamuk Bill Gates

Teknologi Wolbachia tersebut merupakan hasil penelitian yang dikembangkan oleh World Mosquito Program (WMP),  perusahaan nirlaba yang dimiliki oleh Monash University. Teknologi nyamuk Wolbachia juga disebut nyamuk Bill Gates karena mendapat dukungan dari mitra Gates Foundation. Dilansir dari website resmi WMP,  Bill Gates memberikan $US50 juta untuk WMP selama tiga tahun. Sehingga total kontribusi yang diberikan Bill dan Melinda kepada WMP sejak 2010 mencapai US$185 juta.

Setelah mendapat suntikan dana dari Bill gates, penelitian tersebut dikembangkan dibeberapa Negara seperti Brasil, Australia, Vietnam, Fiji, Vanuatu, Mexico, Kiribati, New Caledonia,  Sri Lanka, Columbia dan Bangladesh.

Wolbachia di Indonesia

Beberapa peneliti di dunia ikut serta melakukan reset mengenai teknologi Wolbachia. Tak terkecuali peneliti dari Indonesia. Teknologi tersebut sudah diteliti mulai tahun 2011 oleh Prof Adi Utarini yang kerap disapa Prof. Uut. Penelitian yang menggandeng 20 pakar dari Kemenristek dan Dikti tersebut menguji kelayakan, keamanan dan resiko dari implementasi teknologi Wolbachia tersebut.

Hasil penelitian tersebut membuahkan hasil yang positif.  Sehingga, pada tahun 2022, Prof. Adi Utarini melalui program WMP Yogyakarta menggandeng Yayasan Tahija untuk melakukan penelitian implementasi Wolbachia di Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Hasilnya, di lokasi yang telah disebar Wolbachia terbukti mampu menekan kasus demam berdarah hingga 77 persen, dan menurunkan proporsi pasien dirawat di rumah sakit sebesar 86%.

Uji coba tersebut dianggap berhasil, sehingga di tahun 2023 Mentri Kesehatan RI Ir. Budi Gunadi Sadikin melaunching teknologi Wolbachia menjadi strategi pengendalian yang berkasnya sudah masuk ke Stranas (Strategi Nasional). Sebagai pilot project di Indonesia, project tersebut dilaksanakan di lima kota yaitu Kota Semarang, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Kupang dan Kota Bontang berdasarkan Keputusan Menteri kesehatan RI Nomor 1341 tentang Penyelenggaran Pilot project Implementasi Wolbachia sebagai inovasi penanggulangan dengue.

Ditetapkannya Teknologi Wolbachia menjadi salah satu Upaya penanggulangan DBD, beberapa kota yang terpilih sebagai pilot project sudah mulai merealisasikan program tersebut. Semarang menjadi kota pertama yang melaunching program tersebut. Acara yang digelar dalam bingkai “Wingko Semarang” yaitu Wolbachia Ing Kota Semarang tersebut dihadiri oleh P2P Kemenkes RI dan sejumlah pejabat setempat dan diadakan pada 30 Maret 2023.

Kota kedua yang melaunching program tersebut adalah Bontang, Dirut Jendral P2P Kemenkes dan Prof. Uut dari UGM merilis program Wolbachia dengan nama “Bawis” Berwolbachia Serentak. Menkes RI Budi Gunadi pada Oktober 2023 lalu juga melaunching Wolbachia di Kupang dengan tema “DOBRAK” Deng Wolbachia Ketong Berantas Demam Berdarah di Kota Kupang.

Disusul dengan kota Bandung, Kadinkes Kota Bandung Anhar Hardian menamai program ini “ce Woli Jawara” Cegah DBD, Wolbachia Jagi Wargi Bandung Juara dengan Ujung berung sebagai lokasi percobaan. Sama halnya dengan kota lain, Jakarta Barat hanya tinggal menunggu MoU antara kemenkes dan Pemprov untuk segera melepaskan 4100 ember nyamuk berwolbachia.

Penolakan Wolbachia

Meskipun beberapa penelitian tersebut memperoleh hasil yang positif, dan sudah mulai diimplementasi di lima kota yang menjadi pilot project, Teknologi Wolbachia masih mendapat penentangan. Siti Fadilah Supari menyatakan pendapatnya dalam Jumpa Pers 12 November 2023 bahwa Teknologi ini mengusik kedaulatan RI. Beliau mengungkapkan bahwa program tersebut merupakan program Filantropi dan bukan program dari Negara Indonesia. Penelitian juga dilakukan dengan menggunakan warga negara Indonesia sebagai subjeknya dan seharusnya dilakukan dengan cara – cara yang lebih transparan.

Lebih lanjut lagi, Siti Fadilah menilai bahwa program yang diklaim bisa mengurangi kasus DBD tersebut belum pada tahap lebih lanjut mengenai dampak jangka Panjang apabila nyamuk tersebut disebar. Menurut Siti Fadilah, Wolbachia pada nyamuk aides aegypti diklaim dapat menurunkan mobilitas dan mortalitas.

Penentangan Siti Fadilah tampaknya patut dipertimbangan, pasalnya meskipun penelitian Teknologi Wolbachia yang dilakukan di Indonesia sudah dilakukan dari tahun 2011, namun masih dengan skala terbatas. Implementasi pengujian dimasyarakat baru dimulai pada tahun 2022 di Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Hal tersebut terlalu singkat untuk menjadi referensi keamanan Masyarakat.

Ivan D Velez, peneliti WMP dari Columbia mengungkapkan dalam jurnal yang dipublikasi 2019 di Columbia bahwa perlu tiga hingga lima tahun untuk meneliti dampak persebaran Wolbachia di suatu Wilayah. beliau melakukan penelitian mengenai regulasi mobilitas Masyarakat yang berbeda – beda akan mempengaruhi dampak efektifitas Wolbachia. Dan hal tersebut perlu diteliti dalam jangka waktu tiga hingga lima tahun. Veles juga mengungkapkan agar jurnalnya dijadikan bahan rujukan di Indonesia untuk menilai berbagai hal terutama iklim dan mobilitas Masyarakat.  

Penelitian Wolbachia yang dianggap berhasil oleh para peneliti dari WMP tersebut dinilai tidak transparan terhadap Masyarakat Indonesia. Siti Fadillah menuntut transparansi. Seperti yang dilakukan di Columbia, WMP di Columbia melaksanakan program riset Wolbachia di Bello dan Medelin setelah mengantongi persetujuan dari 97% Masyarakatnya.

Siti Fadilah juga mengungkapkan bahwa program penanganan DBD yang dilakukan Kementrian Kesehatan sudah cukup berhasil menekan angka DBD di Indonesia.

Bali Menolak Wolbachia

Berbeda dengan respon beberapa kota yang menjadi pilot project Wolbachia, Bali seolah mendukung pendapat Siti Fadilah. Kota Denpasar Bali yang rencananya akan menjadi wilayah pelepasan 200 juta nyamuk pada 12 November lalu mendapat penolakan.

Humas puskor Hindunesia I Dewa Putu Sudarsana menyatakan adanya kecemasan dan kekhawatiran mengenai pelepasan 200 juta telur nyamuk tersebut. Didampingi oleh juru bicara Gladiator Bangsa Prof Richard Claproth, Sudarsana mengungkapkan bahwa beberapa komunitas di Bali seperti “Save Bali From Mosquito” yang merupakan komunitas local dan nasional serta “Bali Solidarity” yang merupakan komunitas relawaan asing merasakan kekhawatiran dan menentang teknologi Wolbachia karena menemukan kegagalan di Columbia dan Sri Lanka.

Menurut Sudarsana, Prof Richard, professor Suryadharma dan Prof. Yuda memiliki informasi akurat dan merupakan orang yang ahli dalam rekayasa genetika. Sudarsana menyebutkan bahwa teknologi Wolbachia menemukan kegagalan dengan temuan 61 ribu kasus baru di Columbia pasca pelepasan nyamuk berwolbachia tersebut.

Selain kekhawatiran tersebut, Sudarsana mengungkapkan bahwa Puskor Hindunesia mendahulukan kearifan local dengan membangkitkan local genius ditatanan daerah masing – masing. Bali dengan segala keeksotisan budayanya memiliki upacara secara niskala (alam spiritual), melabuh gentuh, nangluk merana (tolak bala), dan guru wisesa (pemerintah). Penerapan 3M di Bali juga sudah dilakukan sebagai Upaya penanggulangan menekan jumlah kasus DBD. Hal tersebut juga merupakan suatu tanggungjawab Masyarakat Bali untuk menjaga daerahnya secara simultan.

Bersama dengan prof Richard, Sudarsana menyatakan menolak dengan tegas pelepasan nyamuk berwolbachia dengan alasan penelitian tersebut belum dapat dipastikan dampaknya dalam jangka Panjang. Beliau menegaskan bahwa Bali seharusnya dijaga oleh Masyarakat itu sendiri, bukan menyerahkan penjagaan kepada nyamuk rekayasa genetika.

Wolbachia Penyebar LGBT

Ditengah pro dan kontra, teknologi Wolbachia juga mendapat rumor tidak baik dimasyarakat sebagai nyamuk yang menyebar gen LGBT. Faktanya, bakteri Wolbachia memiliki sifat merubah gen dari Jantan menjadi betina (feminisme) dan menghasilkan telur yang tidak subur atau infertile (Kageyama, 2012).  Wolbachia dapat menyebabkan kepunahan pada Jantan dan berhentinya alur perkembangbiakan serangga. Sifat Wolbachia tersebut yang menjadi dasar untuk menekan populasi DBD.

Hal baru yang masuk dalam suatu lingkup masyarakat tentunya akan menimbulkan pro dan kontra, tidak terkecuali teknologi. Penelitian yang melalui proses Panjang dan dana yang tidak murah juga tidak serta merta dapat diterima oleh Masyarakat. Apalagi dengan masyarakat sebagai subjeknya.

Upaya pemerintah dengan menghadirkan teknologi agar menjadi pelengkap program penanggulangan DBD tersebut haruslah dikaji dengan cermat agar tidak terkesan terburu – buru terlebih lagi, program tersebut merupakan program filantropi. Pemerintah memiliki lebih banyak tugas untuk menerapkan suatu kebijakan dan peraturan.

Hal yang perlu diperhatikan juga adalah bahwa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan budaya, menghargai para leluhur dan memiliki adat yang sudah menjadi ikon eksotis yang membuat Indonesia “Unik” dan menarik dalam kacamata internasional. (clue)

By Redaksi

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *