Penulis : Tiara Maulinda Habibah
Lesti Kejora jadi korban KDRT. Judul tersebut menjadi trending topic media sosial dan headline media massa. Kabarnya Lesti Kejora dibanting berkali-kali sampai diseret ke kamar mandi karena mengetahui perselingkuhan sang suami, Rizky Billar.
Pasangan dengan fanbase terbesar di Indonesia ini (Leslar) sontak menjadi perbincangan. Kemesraan yang selalu dipertontonkan keduanya seakan menjadi ironi. Warganet sontak tersadar bahwa semua itu hanya sebuah topeng belaka yang disajikan keduanya di media sosial.
Ada yang berkomentar bahwa hal ini sudah dapat diperkirakan sebelumnya. Ada juga yang mengaku terkejut. Saya termasuk jenis orang yang kedua. Maklum banyak ibu-ibu tetangga rumah yang seringkali memperbincangkan keserasian mereka saat sedang ngerumpi di sore hari sembari menyuapi anak.
Lesti diketahui langsung melaporkan tindakan KDRT yang menimpanya ke Polres Metro Jakarta Selatan. Rabu 28 September 2022 menjadi hari yang kelam bagi Lesti. Tentu dirinya mempertaruhkan banyak hal saat mengambil langkah ini.
Hal yang dilakukan Lesti sudah tepat. Sebagai publik figur, Lesti tentu tidak mudah mengungkapkan persoalan rumah tangganya. Apalagi langsung menyeret Rizky Billar ke meja hukum. Menceritakan kekerasan yang dialami merupakan sebuah keberanian yang patut diapresiasi.
Keputusan yang diambil oleh penyanyi dangdut tersebut bukanlah tindakan membuka aib keluarga. Karena cara satu-satunya keluar dari lingkaran kekerasan yaitu dengan mengakses pengada layanan.
Normalisasi KDRT
Kasus KDRT sayangnya masih dianggap hal lumrah. Tidak dianggap sebagai tindakan kejahatan. Aib keluarga. Saking dekatnya tindakan KDRT di tengah masyarakat kita, semakin perbuatan tersebut dinormalisasi.
Hal ini tidak terlepas dari budaya kepemilikan, seperti istri milik suaminya atau anak milik orang tuanya. Relasi kuasa juga sangat kuat mempengaruhi cara berfikir masyarakat kita. Terlebih jika pelaku merupakan laki-laki dan pencari nafkah.
Tak mudah memang korban kekerasan domestik keluar dari lingkaran ini. Dalam penelitian Why I stayed/left: An analysis of voices of intimate partner violence on social media (2015), Jason B. Whiting, Ph.D., LMFT, Profesor Terapi Pernikahan dan Keluarga di Texas Tech University mencatat perempuan lebih memilih bertahan.
Dalam penelitiannya, ia mengungkapkan ada delapan alasan mengapa perempuan cenderung bertahan dalam hubungan abusive. Diantaranya adalah keinginan untuk menjadi penyelamat, mempertahankan harga diri, anak-anak, pikiran yang terdistorsi, isolasi, pengalaman keluarga, ketakutan, dan kendala keuangan.
Saya jadi teringat sebuah film Bollywood yang dirilis Netflix baru-baru ini. Tayang pada bulan 5 Agustus 2022. lalu Berjudul Darling. Film yang banyak menuai kritik karena berani mengangkat cerita KDRT dari perspektif korban (perempuan). Dibintangi oleh Alia Bhatt serta disutradarai oleh sutradara perempuan, Jasmeet K. Reen.
Di salah satu adegan film tersebut, Shamshu, pelaku KDRT, membela dirinya di depan polisi tentang alasannya menjadi kasar ketika mabuk alkohol. Ironinya lagi, polisi yang sedang bersamanya memberikan jawaban tanpa empati. “Semua ini terjadi karena perempuan yang membiarkan mereka (laki-laki)”.
Adegan ini memperlihatkan bagaimana masyarakat kita memiliki tendensi untuk menyalahkan perempuan korban setiap ada kekerasan yang terjadi. Hal pertama yang dilakukan banyak orang adalah menyalahkan dan menghakimi korban.
Lesti Berani Keluar dari Lingkaran Kekerasan
Dalam banyak kasus KDRT, sering kali perempuan korban berakhir tetap terperangkap relasi abusive yang menjeratnya. Belum lagi dengan pembiaran dan budaya victim blaming yang membuat korban semakin kesulitan mengakses pertolongan atau keadilan.
Di tengah keputusasaan perempuan korban yang serasa tak punya harapan, maka melalui Lesti semestinya kita semua belajar mengenai alternatif realitas perempuan korban KDRT. Saya pribadi berharap Lesti tidak tiba-tiba mencabut laporan tersbut hanya karena alasan cinta.
Kasus KDRT yang dialami Lesti Kejora sebenarnya cukup banyak. Hanya saja hal ini masih menjadi fenomena gunung es yang hanya nampak di permukaan. Korban juga bisa dari pihak laki-laki. Meski dalam budaya patriarki, perempuan lebih rentan menjadi korban.
Padahal, amat penting bagi para korban menyadari bahwa KDRT tidak sekadar kekerasan yang melibatkan pemukulan atau kekerasan fisik lainnya. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga jelas menuliskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga terdiri atas kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.
KDRT Bukan Lagi Ranah Pribadi
Di Indonesia sendiri, tak banyak yang mampu membedakan KDRT dengan perilaku mendidik atau meluruskan masalah. Masyarakat harus memahami bahwa segala bentuk tindak kekerasan, meskipun ia bersumber dari perkara pribadi awalnya, adalah hal yang dengan sendirinya harus terlepas dari perkara pribadi.
Berbeda dengan cekcok biasa di keluarga yang tidak ada korban setelahnya, namun justru membuahkan jalan keluar dari masalah itu.
Dalam hal ini, unsur penegakan keadilan terdekat dan tercepat ketika KDRT terjadi adalah masyarakat sekitar. Di titik inilah masyarakat harus memahami bahwa mereka adalah penentu dihentikan atau tidak dihentikannya sumber trauma bagi salah seorang warganya.
Pentingnya Membangun Kesadaran Kolektif
Faktanya korban KDRT jarang mendapatkan support system yang bagus dari keluarga mereka sendiri. Tidak jarang bahkan orang tua yang membuat anak mereka tetap bertahan dalam perkawinan yang penuh kekerasan. Alasannya sangat klise, karena pernikahan harusnya dipertahankan.
Lucu rasanya jika kita juga berdalih tidak ingin ikut campur terhadap urusan rumah tangga orang lain. Padahal jelas-jelas kita mengetahui telah terjadi tindakan KDRT didalamnya.
Bagaimana bisa kita mengatakan tidak ingin mencampuri urusan rumah tangga orang lain, sedangkan di lain kesempatan kita selalu cerewet saat mendesak sebuah keluarga untuk segera memiliki anak, memiliki uang banyak, melaporkan jika salah satu dari mereka melakukan perselingkuhan, bahkan berani mempersekusi satu keluarga jika mereka beribadah dengan cara yang berbeda dengan mayoritas masyarakat sekitar? Dengan kenyataan demikian, dalih tidak ingin ikut campur urusan rumah tangga orang lain bukan lah alasannya.
Namun sayangnya kesadaran kolektif telah dikubur dalam-dalam oleh masyarakat patriarki. Lewat norma agama, norma sosial, hingga didikan keluarga. Budaya ini membuat perempuan maupun laki-laki korban kekerasan lupa, bahwa padanya melekat seluruh hak asasi dan kehormatan serta daya juang.