SUBANG – Hari ini (05/04), Subang merayakan hari ulang tahunnya ke-76. Usia ke-76 ini berdasarkan tanggal kelahiran 05 April 1948.
Dimana, mulanya pemerintah darurat pemerintahan darurat membagi dua wilayah Kabupaten Karawang menjadi Kabupaten Karawang Barat dan Kabupaten Karawang Timur pada 5 April 1948.
Wilayah Subang dan Purwakarta menjadi bagian dari Kabupaten Karawang Timur. Saat itu Subang dan Purwakarta masih menjadi kawedanaan. Semacam distrik.
Sejarawan muda asal Subang, Anggi A. Junaedi, M. Hum, menjelaskan pembagian wilayah tersebut bagian dari strategi perang gerilya pemerintah darurat melawan agresi militer Belanda.
“Pasca proklamasi, Kabupaten Subang memang dimasukkan ke dalam satu wilayah administratif Kabupaten Karawang. Namun, penggabungan itu justru seperti menghambat jalannya koordinasi gerilya hingga akhirnya diputuskanlah untuk membagi dua menjadi Karawang Barat dan Karawang Timur. Namun, pada awalnya untuk kepentingan koordinasi gerilya yang kemudian berkembang menjadi wilayah administratif. Hanya saja, dokumen terkait pengembangan itu belum berhasil saya temukan.” jelas Anggi.
Terjadi perdebatan sebelum keputusan penentuan tanggal lahir Subang ditetapkan. Beberapa pihak menganggap putusan tersebut tidak mempertimbangkan aspek politis maupun geografis. Seperti catatan Asman Hadi dalam bukunya berjudul 5 April 1948: Hari Jadi Kabupaten Subang dengan Latar Belakang Sejarahnya, tanggal 5 April 1948 ditetapkan sebagai tanggal lahir Subang melalui Keputusan DPRD No: 01/SK/DPRD/1977. Karena Kabupaten Karawang Timur dan Kabupaten Subang dengan luas wilayah seperti sekarang, berbeda.
“Dengan demikian, bagaimana mungkin sebuah daerah baru yang tidak memiliki luas wilayah yang sama dapat dijadikan sebagai hari lahir daerah yang telah terbentuk lebih dahulu,” tuturnya.
Secara administratif dan kewilayahan, lahirnya Kabupaten Subang berdasarkan UU. No. 4 Tahun 1968 tentang pembentukan Kabupaten Subang yang dikeluarkan tanggal 29 Juni 1968.
Pemerhati Budaya dan Sejarah, M. Khadar Hendarsyah, M. Hum, menyebut pemilihan tanggal 5 April 1948 sebagai HUT Subang dinilai kurang tepat. Dirinya mempertanyakan kenapa tidak berdasarkan UU No. 4 Tahun 1968.
“Kenapa tidak mengacu ke UU No. 4 tahun 1968? Jika dilihat dari tata negara UU tersebut harusnya menjadi acuan. Lebih tepat HUT Subang ada di 29 Juni 1968. Kalaupun tanggal 5 April 1948 itu hanya sebagai perjalanan histori Subang bersama Purwakarta di Kabupaten Karawang Timur,” terang pria alumni Pascasarjana Humonaria Universitas Padjajaran.
UU tersebut menjadi dasar berdirinya wilayah administratif Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang. Saat itu, Atju Syamsudin menjadi Bupati pertama Subang setelah sebelumnya menjadi Bupati Purwakarta.
Menurutnya, penetapan Hari Ulang Tahun suatu kabupaten seharusnya mengacu pada lahirnya Kabupaten Subang dengan pemerintahan dan cakupan luas wilayah sendiri. Tidak terkait dengan Purwakarta dan Karawang.
Khadar juga mendorong Pemerintah Kabupaten Subang agar dapat meluruskan sejarah dengan merubah Peraturan Daerah yang sudah ada. Hal ini dimaksudkan agar generasi kedepan bisa benar-benar terang dalam melihat sejarah terbentuknya Kabupaten Subang.
Saat ini, Subang terdiri dari 30 kecamatan. Memiliki luas wilayah Kabupaten seluas 2.051,76 km persegi atau 6,34 persen dari total luas Jabar. Dengan topografi yang beragam, pegunungan, perbukitan, dataran rendah, pesisir, dan laut. Pada masa pra-kemerdekaan, wilayah ini merupakan lahan partikelir. Dikuasai pengusaha perkebunan.
Tahun 1813, James Sharpnell membeli sebidang tanah (persil) 3 wilayah Ciasem. Lalu bersama Philips Skelton menambah luasan lahannya dengan membeli persil 4 Pamanukan. Alhasil, keduanya menguasai tanah dari ujung Gunung Tangkubanparahu sampai garis laut Pantura. Wilayah ini menjadi cikal bakal wilayah Administratif Subang. Jika dilihat secara historis, Subang pada awalnya merupakan tanah perkebunan. Wilayah Subang dimiliki oleh beberapa perusahaan dan sempat berganti kepemilikan. Tahun 1813 James Sharpnell asal Eropa membeli persil 3 yaitu wilayah Ciasem, lalu membeli kembali persil 4 yaitu wilayah Pamanukan bersama Phillips Skelton.
Sejarawan muda asal Subang, Anggi A. Junaedi, M. Hum menerangkan, setelah membeli kedua persil tersebut, James Sharpnell resmi menjadi pemilik tanah mulai dari garis laut Pantura Subang sampai pegunungan Tangkuban Perahu. Inilah cikal bakal wilayah administratif Kabupaten Subang saat ini.
“Membuka fakta historis, Subang secara sejarah dibangun oleh orang Eropa. Kepemilikannya dimulai dari Sharpnell dan berpusat di Sagalaherang. Subang dimanfaatkan menjadi lahan perkebunan dengan berbagai komoditi pertanian,” jelas Anggi.
Sharpell dan Skelton menjadikan Desa Tenger Agoeng (Tengeragung) di Segalaherang menjadi tempat tinggalnya. Selain itu, ia juga membangun beberapa rumah dan kantor untuk para administratur dan orang Eropa lainnya yang bertugas di tanah partikelir. Keduanya memiliki tanah afdeeling menjadi tanah swasta yang dimiliki dengan hak eigendom (Galih, 2022).
Setelah masa duo pengusaha Sharpnell dan Philips Skelton, seorang pengusaha Belanda bernama Pieter William Hoffland, pendiri Pamanukan & Tjiasem Landen, membeli tanah-tanah partikelir Subang. Hofland lahir di Madras, India pada 7 September 1802. Ia memindahkan pusat kantor bisnisnya ke daerah yang sekarang menjadi kecamatan Subang.
Jejak-jejaknya kini masih bisa kita lihat seperti bangunan Museum Subang. Tahun 1911 partikelir P&T Landen dijual ke Anglo Dutch Plantation. Disaat bersamaan, mulai terjadi penguasaan lahan privat menjadi lahan negara. Pemerintah waktu itu, membeli lahan-lahan milik perusahaan swasta.
“Pada saat yang sama sebagian tanah dibeli pemerintah. Jadi kekuasaannya tidak sebesar perusahaan sebelumnya. Tahun tersebut menjadi transformasi awal menuju tanah negara,” terang Anggi.(Clue)