Hampir semua daerah gaduh. Setelah keluar Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 2025 yang memutuskan bahwa dana transfer ke daerah (TKD) dipotong besar-besaran. Sebab, selama ini APBD amat bergantung kepada TKD.
Gaduh karena sudah terbayang banyak janji politik kepala daerah yang tidak akan terbiayai maksimal. Sebab kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) masih sangat kecil. Rata-rata hanya menyumbang 20-30 persen terhadap APBD. Kini PAD Subang terus membaik, sudah mendekati Rp1 triliun.
Itu pun didominasi pajak bumi dan bangunan (PBB) dan BLUD. Sedangkan pendapatan BLUD seperti RSUD, hanya dicatatkan saja. Uangnya tidak bisa digunakan untuk yang lain, kembali digunakan untuk operasional RSUD.
Komponen pendapatan lain seperti pajak hotel dan restoran serta retribusi, masih relatif kecil berkontribusi terhadap PAD. Apalagi beberapa daerah di luar Jawa, seperti di Kalimantan, perekonomiannya bergantung pada aktivitas pertambangan. Pajak pertambangan tidak bisa dikantongi daerah, dipungut oleh pemerintah pusat lalu sebagian dikembalikan melalui bagi hasil.
Kita bisa sama-sama membaca, berapa anggaran TKD yang dipotong pemerintah pusat. Alasannya untuk membiayai berbagai program pemerintah. Kondisi ini sudah berlangsung sejak tahun 2024. Justru saat bencana wabah Covid 19, dana TKD masih cukup lumayan diterima daerah. Walaupun terjadi relokasi anggaran untuk penanganan wabah. Tapi uangnya ada.
Tapi sejak 2024, pengurangan TKD dilakukan untuk membiayai program strategis pemerintah pusat. Dimulai dari pembangunan Ibu Kotan Negara (IKN) yang menelan biaya Rp 43 triliun dan kini di tahun 2025 dialokasikan untuk program makan bergizi gratis (MBG) Rp 71 triliun dan koperasi merah putih (KMP) di semua desa di Indonesia pada tahap awal sekitar Rp 16 triliun.
Meski di tahun 2026 anggaran IKN terus dikurangi. Tapi anggaran MBG menlonjak tajam jadi Rp336 triliun. Anggaran Kopdes Merah Putih sekitar Rp 83 triliun. Ini belum ditambah program baru Presiden Prabowo yaitu Sekolah Rakyat yang menelan anggaran hampir Rp 800 miliar.
Imbasnya, dana TKD tahun 2026 harus dipangkas Rp269 triliun. Akan menurun drastis dari tahun 2025. Dari sebesar Rp 919 triliun menjadi Rp 649 triliun yang diterima seluruh pemerintah provinsi, kabupaten dan kota.
Kepala daerah menjerit. Sudah terbayang, janji politiknya sulit sepenuhnya terealisasi. Saat terjadi kegaduhan, datanglah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Menjelaskan ke publik kondisi fiskal dan moneter nasional dengan gaya koboy tapi mudah dipahami. Menganut mazhab berbeda dengan Menkeu Sri Mulynai yang teknokratis dan penuh kehati-hatian menjaga fiskal.
Sri Mulyani mengejar wajib pajak dan naikin PPN jadi 11 persen. Purbaya memilih mendorong pertumbuhan ekonomi dulu sebelum mengejar wajib pajak. Ia mengguyur bank himbara dengan dana Rp 200 triliun. Kata Purbaya, kalau ekonomi lesu, pemerintah terus naikin dan ngejar pajak nanti masyarakat marah. Tapi kalau ekonomi bagus, masyarakat akan senang hati membayar pajak.
Oktober lalu, Purbaya didatangi sekitar 18 gubernur. Intinya mengeluhkan pemotongan TKD. Sebab APBD-nya kritis. Banyak program yang tidak akan jalan. Kebijakan berubah? tidak. Purbaya malah mengungkap banyaknya dana ngendap di bank daerah. Di deposito dan giro. Serapan APBD pun rendah.
Purbaya mendorong agar APBD yang ada jangan dipendam di bank daerah. Harus dihabiskan. Bahkan Menkeu juga mengancam akan menarik anggaran kementerian yang lambat digunakan. Tapi menurut ekonom Faisal Basri justru kondisi ini merugikan daerah. Satu sisi daerah harus kreatif menghasilkan PAD, tapi pusat menyedot potensi daerah dan dipotong pula. Kondisi yang ironis dan kontradiktif dengan semangat desentralisasi. Menurutnya, pemerintah daerah harusnya protes ke pemerintah pusat. Demikian disampaikan Faisal Basri dalam Subang Investment Summit (SIS) 2023.
Kini, kepala daerah harus ikhlas menerima pemotongan TKD. Kabupaten Subang kehilangan Rp361 miliar dana dari pusat. Maka APBD 2026 harus direvisi. Pemprov Jabar pun kehilangan Rp2,7 triliun. Tadinya Rp31,1 triliun menurun menjadi Rp28,3 triliun. Merivisi APBD biasanya akan jadi bagian yang rumit dan alot. Terjadi tarik-menarik berbagai kepentingan. Antara eksekutif dan legislatif.
Beberapa kepala daerah mulai melakukan berbagai cara untuk mengatasi kondisi tersebut. Gubernur Jabar Dedi Mulyadi sudah mengumumkan work from home (WFH) bagi ASN Pemprov Jabar pada November ini. Sedangkan Bupati Kabupaten Bandung memotong tunjangan kinerja (tukin) sebesar 30 persen. Pemkot Cirebon juga merencanakan pemotongan tunjangan ASN 10 persen.
Dapat disimpulkan bahwa pemotongan TKD berdampak signifikan dan sistemik pada APBD. Menunjukan lemahnya kapasitas fiskal pemerintah daerah. Masih rendahnya kemampuan daerah dalam memanfaatkan potensi daerah untuk dikonversi menjadi PAD.
Artikel ini bagian 1 dari 6 seri artikel yang tayang setiap hari mulai Minggu (16/11/2025). #UrunGagasan #BagianDariSolusi

