Oleh Lukman Nurhakim
Dirut Perumda TRS
Saat ini sudah memasuki musim kemarau. Tapi, kabar dari BMKG, tahun ini tidak akan lebih panas dari tahun 2023. Nyatanya di bulan Juni ini masih ada hujan. Masih bisa menikmati sejuknya udara sambil baca lagi Novel Hujan Bulan Juni.
Ternyata awal Juli juga masih ada hujan. Meskipun telat, musim panas pasti terjadi. Puncaknya mungkin di bulan Agustus. Musim sekarang tidak seperti dulu, mudah diprediksi.
Kata orang tua, kalau sudah ret yaitu bulan Maret, musim hujan hampir selesai. Kata guru, Juli jadi bulan terpanas. Matahari persis di atas kepala. Tapi kerusakan alam bikin kita keder. Juli masih ada hujan, tahun lalu September masih panas.
Perumda Tirta Rangga Subang (TRS) harus bersiap menghadapi musim kemarau. Sumur-sumur dan sumber mata air yang biasa digunakan warga biasanya banyak yang mengering. Terutama di wilayah Pantura. Permintaan pengiriman air tangki meningkat.
Jika sudah begini, daerah-daerah yang tidak berlangganan mendadak minta jadi pelanggan. Tapi itu tidak banyak. Yang repot, jika daerah yang belum ada jaringan pipa, minta jadi pelanggan.
Sudah terjadi di Sarireja, Ciater. Menurut warganya, dua tahun terakhir ini terjadi kekeringan sumber air. Memang mata air masih ada, tapi debit sudah sangat kecil. Pengelola air bersih perorangan kesulitan.
“Repot juga (manajemennya), silahkan kalau PDAM mau masuk. Kami siap bantu,”
Intinya begitu obrolan kami dengan aparat Desa Sarireja pada bulan Mei lalu. Mereka minta Perumda TRS mulai masuk ke sana. Memberikan pelayanan. Tapi kami masih kesulitan karena belum ada jaringan pipa.
Sumber air dari Cileuleuy-Jalancagak dan Cipondok-Cisalak yang saat ini digunakan harus ditarik ke atas. Elevasi Sarireja lebih tinggi. Tentu air harus didorong pompa. Harus dihitung dulu nilai keekonomiannya.
Intinya belum bisa dilayani dalam waktu dekat.
Tapi kami sudah punya sumber air di atas Sarireja. Mata air Cikanyere. Debitnya memadai, sekitar 100 lps. Cukup untuk sekitar 10.000 rumah dalam hitungan ideal.
Strategi lainnya sudah kami pikirkan; mengambil air dari air terjun atau curug. Banyak curug di wilayah selatan yang belum termanfaatkan untuk sumber air bersih. Lokasinya jauh dari pemukiman warga.
Kami sudah survey, di antaranya ke Curug Cibareubeuy yang pernah didatangi Ariel Noah. Elevasinya bagus. Bisa gravitasi, tidak perlu pompa. Artinya biaya operasional lebih hemat. Bisa menggantikan atau back up sumber dari mata air Cipondok yang Januari lalu longsor.
Air dari Cipondok memang besar. Cukup untuk layanan di tiga kecamatan. Tapi air harus dipompa ke atas. Biaya listriknya saja lebih dari Rp 300 juta/bulan. Jika dari Curug Cibareubeuy, sistem gravitasi, tidak perlu pompa. Artinya biaya listrik nol rupiah.
Kami juga sudah hitung biayanya, sekitar Rp 17 miliar. Biaya sendiri tidak mungkin, dari Pemda juga berat. Kami sudah sampaikan ke pemerintah pusat, juga ke beberapa calon investor. Mudah-mudahan ada yang tertarik. Bisa untuk melayani wilayah Kasomalang, Jalancagak dan Ciater.
Khusus wilayah Ciater, sampai sekarang belum ada jaringan pipa Perumda. Mengapa? Menurut tim Hubungan Langganan, Kecamatan Ciater masuk daerah yang belum membutuhkan air dari Perumda. Banyak sumber mata air yang bisa digunakan warga. Warga kelola sendiri. Biasa kita menyebutnya Pamsimas atau Pamdes.
Perumda tidak mungkin bersaing dengan program pemerintah itu. Setiap bulan, warga biasanya hanya dikenakan biaya flat: antara Rp 10 ribu-Rp20 ribu saja.
Tapi tahun lalu, Perumda TRS dikagetkan permintaan air dari Kampung Cigintung, Desa Palasari, Kecamatan Ciater. Warga di sana kesulitan air bersih. Sumber air yang dikelola Pamdes mengering.
Memang tahun lalu selama tiga bulan tidak ada hujan. Sejak Juni hingga Agustus. Tahun ini, alhamdulillah, masih ada hujan.
Apakah air Perumda TRS akan mengering saat musim kemarau panjang? Secara teoritis bisa mengering atau berkurang drastis. Misal mata air di Ciherang, Cijambe sudah kami tinggalkan. Sebab debitnya terus turun drastis. Sejak tahun 2000, pindah menggunakan mata air dari Cibulakan. Debitnya besar. Saat musim kemarau ekstrem saja, masih 1.300 lps.
Mata air yang digunakan Perumda TRS sudah melalui kajian. Tidak mungkin mengering dalam waktu 10 atau 20 tahun lagi. Kecuali ada kerusakan alam yang ekstrem.
Sebelum menentukan mengambil sumber air, kami harus dilakukan riset dan pengukuran debit. Diukur saat musim hujan dan saat musim kemarau. Begitu juga saat kami menentukan sungai yang akan dijadikan sumber air baku.
Itu sebabnya tidak semua mata air atau sungai layak digunakan untuk pelayanan Perumda TRS. Sebab air hasil olahan Perumda harus sesuai standar yang sudah ditetapkan Kementerian Kesehatan. Tidak cukup jernih, juga harus bebas dari kandungan berbahaya. Harus dibubuhkan kaporit.
Karena mengandung kaporit itu pula, ada masyarakat yang menolak berlangganan Perumda, padahal itu syarat mutlak. Sebab kaporit bisa membunuh virus, bakteri dan algae.
Tapi kami pun menyadari, pelanggan banyak menerima air dengan kondisi keruh. Terutama di wilayah yang bersumber dari mata air Cibulakan yang melayani Cijambe, Kota Subang dan Cibogo.
Itu PR berat. Sudah lama tidak terpecahkan. Saat hujan deras, sumber air dari Cibulakan keruh. Kami menduga karena resapan air sudah terpengaruh aktivitas galian batu. Tapi, kami belum punya bukti hasil riset. Baru menduga.
Sebab, menurut para pensiunan dan pegawai senior Perumda TRS, sebelum ada akvitas galian batu, mata air lebih jernih. Tidak pernah seperti saat ini. Saat kekeruhan ekstrem dengan kekeruhan di antas 100 NTU, sand filter dan koagulan untuk menjernihkan air tidak bekerja efektif.
Jika sudah begitu, pendistribusian air harus dihentikan. Dilakukan backwash agar air kembali jernih. Saat begini, pelanggan rugi. Kami juga rugi.
Kami sudah sampaikan kondisi ini ke beberapa perusahaan Korea dan Singapura. Barangkali mereka bisa membantu. Ada satu perusahaan Korea yang punya teknologi nano-bubble. Sudah diujicoba. Hasilnya bagus. Sangat bagus. Kekeruhan bisa sampai 0,5 NTU. Seperti air AMDK, sangat jernih.
Tapi kami harus beli teknologi itu. Harga pokoknya saja Rp 5 miliar. Belum termasuk pajak, biaya instalasi, biaya pengiriman dan upah tenaga ahli dari Korea. Mungkin bisa sampai Rp 6 miliar. Kami tarik nafas. Berat.
Sebenarnya kami sadar, untuk kepuasan pelanggan, apapun harus dilakukan. Tapi secara bisnis, keuangan kami bisa bleeding. Berdarah-darah.
Cari alternatif lain.
Kami diskusikan juga persoalan ini dengan perusahaan K-Water dan China Harbour saat berkunjung ke Cibulakan. Keduanya menjanjikan bisa mencarikan teknologi tepat guna. K-Water malah menjanjikan hibah teknologi.
“Masalah ini tidak rumit. Kami bisa berikan hibah teknologi. Kami juga berikan hibah pengolahan air bersih di IKN. Senilai Rp 300 miliar. Itu hibah terbesar kami kepada Indonesia,” kata perwakilan K-Water.
Perwakilan China Harbour juga sudah meminta data spesifikasi kondisi kekeruhan di Cibulakan. Katanya lagi mencarikan teknologi yang tepat. Business Development UES-China Harbour, Mrs. Ming, malah ngajak melihat aktivitas galian C di kawasan Cijambe itu.
Kami hanya ajak melihat dari kejauhan. Baginya, masalah ini sederhana dibanding pengalamannya mengolah air limbah di Singapura. Ia pun turut prihatin dengan kondisi tersebut.
“Bukan hanya persoalan bisnis, jika Anda bantu kami, ribuan warga akan berterimakasih. Anda menjadi bagian dari sejarah perbaikan kesehatan warga Subang,” demikian saya sampaikan kepada mereka.
Obrolan dengan Mrs. Ming bergeser ke masalah kuliner, saat menikmati ikan bakar khas RM Abah Cijambe.
Kami sudah merayu. Bantu kami berdoa.(*)