Wamen Marak Rangkap Komisaris BUMN, Milenial Indonesia Kritisi Efektivitas Kinerja

Jakarta–Rangkap jabatan yang dilakukan sejumlah Wakil Menteri Kabinet Merah Putih yang menjadi Komisaris di BUMN, dinilai menggangu efektivitas pemerintahan dan kepercayaan publik. 

Hal ini disampaikan Sekretaris Jenderal Milenial Indonesia, Fariskia Adwari, menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap fenomena rangkap jabatan Wakil Menteri (Wamen) sebagai Komisaris BUMN yang kian marak terjadi. 

Menurutnya, praktik ini bukan hanya problematik secara etis dan moral, tetapi juga menyimpan tiga persoalan serius yang berdampak langsung pada efektivitas pemerintahan dan kepercayaan publik.

“Ketika seorang pejabat publik seperti Wamen menjabat sebagai komisaris BUMN, sangat mungkin terjadi tumpang tindih kepentingan. Ia menjadi pengambil kebijakan sekaligus pengawas korporasi yang berada di bawah pengaruh negara. Ini jelas membuka ruang konflik kepentingan yang tidak sehat,” tegas Fariski dalam keterangan resminya, Minggu (27/07/25).

Dirinya menyebut, perilaku tersebut bertentangan dengan semangat good governance dan prinsip pemisahan kewenangan sebagai bagian dari tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel.

Milenial Indonesia, tempat bernaung Fariski, mempertanyakan efektivitas kinerja pejabat yang merangkap jabatan strategis, apalagi keduanya menyangkut kepentingan negara dan publik. 

Sorotan tertuju pada tugas seorang wakil menteri dapat menjalankan tugas kementerian secara optimal jika pada saat yang sama harus mengelola tanggung jawab sebagai komisaris.

“Menjadi Wamen saja itu pekerjaan penuh waktu. Lalu bagaimana bisa membagi waktu, fokus, dan energi ke BUMN sekaligus? Bukannya memperkuat institusi, justru berpotensi membuat keduanya lemah karena terbagi perhatian,” ujar Fariski.

Lebih lanjut, Fariski menyoroti bahwa banyak wakil menteri yang diangkat bahkan tidak berasal dari bidang keahlian yang relevan, baik di kementerian tempat mereka ditugaskan maupun di BUMN yang mereka duduki sebagai komisaris.

“Kalau di kementerian saja tidak sesuai bidangnya, lalu ditambah jadi komisaris di perusahaan negara yang juga bukan bidangnya, hasilnya bisa jadi dua kali tidak kompeten. Ini sangat berisiko dan tentu tidak adil bagi publik yang menuntut hasil kerja nyata, bukan jabatan politik simbolik,” tegasnya.

Fariski Adwari menegaskan bahwa reformasi jabatan publik harus menjadi prioritas ke depan, terutama menjelang pemerintahan baru. 

Ia menyebut, rakyat membutuhkan pejabat publik yang kompeten, fokus, dan bersih dari konflik kepentingan bukan pengumpul jabatan.

“Kami tidak anti pada profesional yang ingin mengabdi untuk negara. Tapi jabatan publik bukan ajang titipan atau bonus politik. Harus ada batasan yang tegas dan aturan yang ditegakkan,” pungkas Fariski.

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *