“Karena money politic ini keniscayaan, kita juga tidak money politics tidak ada yang pilih, tidak ada yang pilih di masyarakat karena atmosfernya beda,” ujar Hugua.
Kontroversi, pada bulan mei lalu mantan komisi II DPR RI yang sekarang maju menjadi calon Gubernur Sulawesi Tenggara, Hugua, mengusulkan untuk melegalkan “Money Politics”.
Menurut Hugua, money politic perlu dilegalkan dalam batas tertentu karena money politik adalah keniscayaan. Hugua mengusulkan hal itu saat Rapat kerja Komisi II DPRD bersama KPU, Bawaslu, DKPP dan Kemendagri.
Meskipun usulan tersebut langsung ditolak karena bertentangan dengan undang – undang, tak bisa dipungkiri isu money politik masih sering terjadi.
Undang – undang yang mengatur tentang larangan money politik tertuang dalam Pasal 73 ayat (1) dan (2) UU Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau UU Pilkada.
“Calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih,” bunyi ayat (1).
Sudah jelas bahwa money politik menentang aturan tersebut.
Menariknya, berdasarkan survey yang pernah diadakan dalam pilkada serentak di Aceh tahun 2017 lalu, angka money politik cukup tinggi. Mencapai 70 persen. Artinya 70 persen masyarakat “menyetujui” bahwa pemberian sejumlah uang atau barang merupakan hal yang dapat diterima.
Uang atau barang yang diterima masyarakat seolah menjadi ‘prasyarat’ dukungan suara yang akan mereka berikan.
Bahkan angka tersebut menyebutkan bahwa masyarakat mengakui semakin sedikit uang yang ditabur semakin kecil pula peluang untuk memperoleh suara. Sebaliknya semakin besar uang yang ditabur semakin besar peluang yang didapat.
Dalam kasus tersebut, istilah “Money Politic” menemukan makna sejati sebagai suatu permainan uang.
Saat Hugua mengusulkan untuk melegalkan money politic, dirinya menyebut bahwa money politik dengan cost politic perlu dilegalkan dengan batasan tertentu.
“Jadi kalau PKPU ini istilah money politics dengan cost politics ini coba dipertegas dan bahasanya dilegalkan saja batas berapa sehingga Bawaslu juga tahu kalau money politics batas ini harus disemprit, sebab kalau barang ini tidak dilegalkan, kita kucing-kucingan terus, yang akan pemenang ke depan adalah para saudagar,” ucap Hugua.
Namun, money politik dengan cost politik pada praktiknya jelas berbeda. Dalam konteks pilkada, cost politik atau biaya politik tidak bisa dihindari. Biaya iklan, spanduk, biaya pertemuan dan seluruh operasional dapat disebut biaya politik.
Saat mengusulkan pelegalan politik uang, Hugua, menyamarkan money politik dengan cost politic.
Menyamarkan money politik dengan cost politik dapat terjadi, mengingat biaya politik yang harus dikeluarkan cukup tinggi.
Pengamat Komunikasi Politik Dr. Aidil Haris mengatakan cost politik untuk Pilkada maupun Pemilu sangat besar, sehingga kebanyakan pebisnis sektor ekonomi menjadi ATM mereka.
“Cost politik itu besar, contohnya saja untuk DPR RI, itu mau tak mau mereka keluarkan cost, logika kita apakah kemampuan finansial secara pribadi untuk itu? saya sih tak yakin, pebisnis di sektor ekonomi itu yang akan menjadi ATM mereka,” ujar Dr Aidil Haris.
Hal itu sah – sah saja, mengacu pada PKPU Nomor 14 tahun 2024, sumbangan dari pengusaha atau swasta dapat diberikan pada calon sebagai dana kampanye. Tentu saja hal itu harus terlapor dengan identitas yang jelas.
Baik money Politic maupun Cost Politic, sebenarnya sama – sama memiliki aturan yang jelas. yang sering menjadi persoalan adalah menyamarkan money politik dengan cost politik.
ketika hal itu terjadi, para filosof, ilmuwan bahkan agamawan bisa gagal dalam memisahkan dan mendefinisikan politik sebagai suatu kemuliaan. Sehingga ketika masyarakat menganggap politik adalah bisnis, politik harus didefinisikan ulang.(clue)