JAKARTA — Seorang pejabat tinggi Hamas secara mengejutkan menyampaikan ucapan terima kasih kepada mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Atas keberhasilannya memediasi gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang mulai berlaku sejak pekan lalu.
Ucapannya menjadi sinyal diplomatik langka di tengah ketegangan konflik Gaza yang menewaskan lebih dari 38.000 warga Palestina selama satu tahun terakhir.
Dalam wawancara eksklusif dengan Sky News, Dr. Basem Naim, pejabat senior Hamas yang kini bermarkas di Doha. Ia Mengungkapkan apresiasinya terhadap Trump yang terlihat berperan besar dalam mendorong Israel menghentikan serangan di Jalur Gaza.
“Tanpa campur tangan pribadi Presiden Trump dalam kasus ini, saya rasa tidak akan mungkin mencapai akhir konflik ini. Oleh karena itu, ya, kami berterima kasih kepada Presiden Trump dan upaya personalnya menekan Israel untuk mengakhiri pembantaian ini,” kata Naim pada Minggu, 12 Oktober 2025.
Meski demikian, Naim menegaskan bahwa Hamas tidak akan membubarkan diri atau menyerahkan senjata. Kecuali kepada “otoritas Palestina yang sah” jika negara Palestina berdaulat terbentuk.
Trump sendiri menyambut baik apresiasi tersebut. Dalam pernyataannya di Washington, ia menyebut kesepakatan gencatan senjata ini sebagai “momentum perdamaian paling bersejarah di Timur Tengah sejak Abraham Accords.”
“Gencatan senjata telah tercapai, sandera akan dibebaskan, dan rakyat Gaza akhirnya akan melihat cahaya baru. Ini kemenangan bagi perdamaian,” ujar Trump 10 Oktober 2025.
Menurut The Guardian, gencatan senjata 10 Oktober 2025 menghentikan serangan udara Israel, roket Hamas, dan menukar sandera dengan tahanan Palestina.
Dalam pernyataan yang sama, Dr. Naim juga menolak mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair terlibat dalam pemerintahan transisi Gaza pasca-perang.
“Ketika menyebut nama Tony Blair, bagi kami semua—Hamas, rakyat Palestina, maupun dunia Islam—citranya sangat buruk. Dia tidak akan diterima,” tegas Naimm
Penolakan ini menanggapi rumor Blair akan jadi mediator Barat dalam pembentukan administrasi sementara Gaza dengan Otoritas Palestina dan Mesir.
Kesepakatan gencatan senjata tersebut merupakan hasil diplomasi intensif selama lebih dari tiga bulan, melalui mediasi Amerika Serikat, Qatar, dan Mesir.
Menurut Washington Post, Trump dan Menlu AS Mike Pompeo menghubungi Netanyahu serta pejabat Hamas di Doha. Upaya mencapai “titik kompromi” jelang 7 Oktober.
Kementerian Luar Negeri Mesir menyebut bahwa kesepakatan ini menjadi “jalan menuju fase rekonstruksi Gaza,” dengan janji bantuan internasional senilai US$ 2,1 miliar (sekitar Rp 33 triliun) untuk pemulihan infrastruktur dan kebutuhan sipil.
Meski pertempuran berhenti, banyak analis menilai gencatan senjata ini masih rapuh. The Guardian melaporkan pasukan Israel masih bertahan di sejumlah titik perbatasan utara Gaza. Sementara itu, Hamas tetap menguasai wilayah bagian tengah.
“Ini bukan akhir konflik, tapi jeda strategis,” kata Mahmoud Mardawi, analis politik Palestina di Doha, kepada Al Jazeera 12 Oktober 2025.
“Namun ucapan terima kasih Hamas kepada Trump menunjukkan adanya harapan baru dalam diplomasi internasional, bahkan dari pihak yang selama ini menolak campur tangan AS.”
Ucapan “Terima kasih, Trump” dari pejabat senior Hamas menjadi momen politik yang tak terduga di tengah pusaran konflik berkepanjangan Israel–Palestina.
Langkah ini memperlihatkan bagaimana diplomasi personal masih memainkan peran penting dalam mencairkan konflik bersenjata yang paling rumit di dunia modern.
Kini, tantangan terbesar adalah memastikan gencatan senjata bertahan lama, bantuan kemanusiaan tersalurkan, dan janji perdamaian benar-benar berakar di Gaza. (clue)