Perempuan Petani Kopi, Pahlawan Tersembunyi di Balik Secangkir Kopi Nusantara

JAKARTA – Pagi itu, di kaki Gunung Kamojang, Kabupaten Bandung, suara riuh burung bercampur dengan aroma kopi yang baru dipetik. Seorang perempuan paruh baya, Eti Sumiati, dengan cekatan memasukkan biji kopi merah ke dalam karung. “Kopi ini sudah seperti anak sendiri,” ujarnya sambil tersenyum.

Eti, yang akrab disapa Nenek Eti, adalah anggota Kelompok Tani Wanoja di Desa Laksana, Kecamatan Ibun, Jawa Barat. Bersama puluhan perempuan lain, ia menanam, merawat, hingga memproses kopi arabika yang kini di kenal dunia sebagai Kopi Wanoja. Tahun lalu, kelompok ini berhasil mengekspor 7 ton kopi ke Arab Saudi.

“Awalnya kami hanya menjual kopi dalam bentuk gelondongan. Tapi sejak ada pendampingan, terutama dari Bank Indonesia, kami berani mengurus legalitas dan mulai produksi untuk pasar ekspor,” kata Eti, mengutip dari wawancaranya dengan Detik.com (26/02/2024).

Di Balik Secangkir Kopi, Ada Tangan Perempuan

Kisah Eti bukanlah satu-satunya. Di berbagai pelosok Nusantara, perempuan petani kopi memikul peran penting yang sering luput dari perhatian. Dari panen, sortir, pencucian, hingga pengeringan, mayoritas di kerjakan tangan-tangan perempuan.

Di Karangkobar, Banjarnegara, Jawa Tengah, Yulianti, atau akrab disapa Teh Lia, merasakan langsung bagaimana perubahan iklim mengubah pola tanam. “Musim sekarang sulit ditebak. Hujan datang tiba-tiba, padahal kopi harus dijemur. Pernah hasil panen kami rusak karena basah,” ujarnya dalam wawancara dengan Kompas (2022).

Namun, tantangan itu tak membuatnya mundur. Bersama kelompok Lady Farmer Coffee, Teh Lia kini tidak hanya menjual buah kopi, tetapi juga mengolah hingga menjadi bubuk kemasan.

“Kalau kami hanya jual ceri, harganya jatuh. Dengan olahan, kami bisa punya nilai tambah dan menentukan harga sendiri,” katanya.

Perempuan yang Memimpin Pasar

Cerita serupa datang dari Chatarina Sri Pujiastuti di Dampit, Malang, Jawa Timur. Ia adalah Ketua Koperasi Wanita Usaha Baru Baturetno, yang mengelola pemasaran kopi petani perempuan di daerahnya.

“Kami memilih sistem petik merah agar kualitas lebih baik. Tapi produksinya masih kecil, sekitar 7 ton per tahun. Padahal potensinya bisa sampai 500 ton kalau ada dukungan modal dan akses pasar,” kata Chatarina, seperti laporan Kompas (2023).

Dukungan dan Harapan

Meski dominan di lapangan, perempuan petani kopi kerap menghadapi hambatan: akses pelatihan terbatas, minim modal, dan beban ganda antara pekerjaan rumah dan kebun.

International Finance Corporation (IFC) mencatat, perempuan di sektor kopi Indonesia mengelola hingga 80% pekerjaan harian, tapi sering tak mendapat akses setara ke pelatihan maupun pasar.

Inisiatif pemberdayaan mulai bermunculan. Yayasan Mercy Corps Indonesia bersama Starbucks, misalnya, telah mendampingi 3.600 petani kopi perempuan di Jawa Barat untuk meningkatkan kapasitas usaha. IFC juga melatih 1.600 perempuan petani agar bisa meningkatkan produktivitas dan kualitas kopi.

Lebih dari Sekadar Kopi

Bagi Eti, Teh Lia, maupun Chatarina, kopi bukan sekadar komoditas. Kopi adalah jalan hidup, warisan keluarga, sekaligus sumber harapan.

“Kami ingin kopi ini bukan hanya menghidupi kami, tapi juga bisa membuat anak-anak punya masa depan lebih baik,” kata Eti dengan mata berbinar.

Di setiap secangkir kopi Nusantara yang kita nikmati, tersimpan cerita perempuan-perempuan tangguh di ladang-ladang pegunungan. Mereka adalah pahlawan tersembunyi, yang menjaga cita rasa kopi Indonesia tetap harum hingga ke meja dunia. (clue)

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *