Peringatan 17 Agustus dan Kebutuhan Narasi yang Lebih Adil

Ahmad Rifa’i, Direktur Media, Teknologi, Riset, dan Komunikasi Publik BEM PTNU Se-Nusantara. Foto: dok. Pribadi.

Indonesia di setiap tanggal 17 Agustus, memperingati Hari Ulang Tahun (HUT). Peringatan ini, selalu dirayakan meriah di seluruh daerah yang berada di Indonesia, mulai dari upacara bendera di sekolah sampai perayaan kenegaraan di Istana Merdeka. Perayaan ini sebagai mengenang jasa para pahlawan, dan membangkitkan semangat nasionalisme masyarakat.

Namun, terdapat sisi sejarah yang sering terpinggirkan dalam narasi arus utama, yaitu kontribusi para ulama dalam perjuangan kemerdekaan. Banyak generasi muda hanya mengenal Soekarno, Bung Hatta, atau Jenderal Sudirman yang merupakan tokoh utama dalam sejarah Indonesia. Misal, nama ulama pejuang seperti Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari nyaris tidak terdengar.

Hal itu, menunjukkan adanya ketimpangan dalam komunikasi sejarah yang telah diwariskan kepada masyarakat Indonesia. Meskipun sebagian dari mereka telah diakui sebagai pahlawan nasional, tapi eksistensi ulama dalam perjuangan dilihat sebagai pelengkap (tidak pusat dari narasi kemerdekaan). Sehingga mencerminkan kurangnya penyampaian sejarah secara menyeluruh dan adil.

Peringatan kemerdekaan harus menjadi ruang untuk merefleksikan bagi yang telah berjasa dalam kemerdekaan bangsa ini. Ulama sebagai pemimpin keagamaan yang memainkan peran penting (aktor spiritual, sosial, dan politik) dalam membangkitkan kesadaran masyarakat, baik melalui khotbah, fatwa, dan pendidikan berbasis pesantren.

Ketidakadilan narasi menjadi hambatan dalam membangun pemahaman sejarah yang utuh. Apabila hanya segelintir tokoh yang terus ditonjolkan, mengakibatkan generasi bangsa tidak mendapatkan gambaran lengkap tentang beragam latar belakang pejuang yang telah mengorbankan jiwa dan raga, demi Indonesia. Bahkan sejarah yang tidak lengkap, akan menumbuhkan nasionalisme yang rapuh dan mudah pecah.

Sudah saatnya momentum 17 Agustus tidak dijadikan seremoni dan simbolisme, tetapi juga menjadi ajang untuk memperbaiki komunikasi sejarah bangsa ini. Dengan menyertakan ulama dalam sejarah, kita tidak hanya memperkaya narasi kemerdekaan, tetapi juga memperkuat identitas bangsa yang berbasis pada nilai-nilai moral, spiritual, dan keadilan.

Jejak Ulama dalam Sejarah Perlawanan terhadap Kolonialisme

Ulama merupakan salah satu elemen terpenting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada era kolonial Belanda sampai penjajahan Jepang, banyak ulama terlihat langsung melawan ketidakadilan dan penindasan terhadap rakyat, ada yang menggunakan masjid, pesantren, dan pengajian menjadi pusat konsolidasi gerakan.

Pengeran Diponegoro, salah satu tokoh besar yang memimpin Perang Jawa (1825-1830) melawan penjajahan Belanda. Perang ini disebut perlawanan terbesar sepanjang sejarah kolonialisme Belanda dan menelan ratusan ribu korban jiwa. Selain itu, Pengeran Diponegoro menjadi simbol nyata perlawanan berbasis spiritualitas Islam yang kuat.

Selanjutnya, ada Tuanku Imam Bonjol, tokoh asal Sumatra Barat yang memimpin Perang Padri. Gerakan ini diawali dengan gerakan purifikasi Islam, tapi setelah menghadapi intervensi Belanda, berubah menjadi gerakan nasionalis. Hal ini menunjukkan bahwa perlawanan ulama tidak bersifat lokal atau sektoral saja, tapi memiliki dimensi kebangsaan yang luas.

Memasuki abad ke 20, peran ulama semakin terorganisir secara nasional. Pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, mengaluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, yang mengajak umat Islam untuk melawan penjajah dalam mempertahankan kemerdekaan. Ajakan ini menjadi pemantik pertempuran 10 November di Surabaya, diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Selain itu, KH. Zainal Mustafa asal Tasikmalaya yang dikenal sebagai ulama gigih melawan penjajahan Jepang. Ia pernah ditangkap dan dieksekusi, sebab menolak untuk melakukan penghormatan terhadap Kaisar Jepang (seikerei) yang dianggap sebagai perbuatan syirik. Dengan keberaniannya, bahwa perlawanan ulama tidak bermotif politik saja, tapi nilai iman dan ketauhidan.

Namun, perjuangan tokoh-tokoh seperti mereka kurang mendapatkan porsi yang seimbang dalam buku sejarah, media, maupun materi pelajaran di sekolah. Hal ini, menggambarkan masyarakat luas, terutama generasi muda, kurang mengenal mereka. Padahal, kontribusi mereka sama besarnya dengan tokoh-tokoh nasional lainnya, yang selama ini mendapat panggung utama.

Komunikasi Publik dan Ketimpangan Representasi Sejarah

Komunikasi publik memiliki peran strategis dalam membentuk kesadaran kolektif. Dalam konteks sejarah, berfungsi sebagai alat untuk mendiseminasikan informasi sejarah secara masif, dan membentuk persepsi publik tentang siapa berjasa bagi bangsa. Lagi-lagi dalam praktiknya, komunikasi sejarah di Indonesia masih bersifat elitis dan selektif.

Adanya ketimpangan representasi ini, bukan semata niat mengabaikan. Tetapi lebih kepada pola penyampaian sejarah yang tidak menyeluruh.sehingga narasi sejarah disampaikan dalam bentuk kaku dan membosankan. Tokoh-tokoh tertentu dimonopoli oleh media dan negara, sementara tokoh-tokoh lain, termasuk dari kalangan ulama, tertinggal dalam ingatan kolektif.

Dalam buku “Api Sejarah” yang ditulis Ahmad Mansur Suryanegara, menceritakan bahwa Islam mempunyai peran yang sangat penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Kemudian, ia juga mencoba menjelaskan pengaruh Islam dan ulama dalam sejarah perjuangan kemerdekaan indonesia. Karena sejarah Islam Indonesia patut diingat dan dihargai.

Dengan pendekatan yang terlalu birokratis dalam menyampaikan sejarah, membuat generasi muda merasa tidak terhubung dengan tokoh-tokoh masa lalu. Padahal, komunikasi publik dilakukan dengan cara yang kontekstual dan kreatif, sejarah bisa menjadi sumber inspirasi, tidak hanya sekadar hafalan.

Ulama sebagai agent of social change, mestinya disampaikan lewat tokoh dengan nilai-nilai yang relevan hari ini. Misal, keberanian, integritas, pengorbanan, dan kepemimpinan moral. Jadi, semua nilai ini sangat penting ditengah krisis keteladanan yang dihadapi masyarakat Indoensia saat ini.

Oleh karena itu, komunikasi sejarah yang adil dan setara menjadi kunci dalam membangun identitas kebangsaan yang utuh. Jika terus menyampaikan sejarah secara setengah hati, maka akan menghasilkan generasi yang memahami bangsanya sacara setengah-tengah juga.

Peran Kreativitas dan Teknologi dalam Menghidupkan Sejarah Para Ulama

sejarah ulama di platform seperti YouTube, TikTok, dan Instagram tentu ringan, tapi bermakna. Bisa juga dengan serial dokumenter pendek, podcast, animasi sejarah, dan infografik yang menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. Misal, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari film pendek atau lainnya yang menyentuh sisi kemanusiaan dan keimanannya.

Tidak berhenti di situ, program edukatif di sekolah juga dapat dimodernisasi dengan metode storytelling digital. Murid-murid diajak membuat proyek multimedia yang bertema pahlawan dari daerah masing-masing. Dengan begitu, sejarah tidak lagi menjadi hafalan semata, tetapi pengalaman belajar yang hidup dan bermakna.

Beberapa komunitas sejarah sudah mulai melakukan inisiatif ini. Misalnya, dokumentasi perjuangan ulama tokoh lokal di Aceh, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi sudah mulai dikembangkan dalam bentuk film dokumenter. Sayangnya, gerakan ini masih bersifat sporadis dan minim dukungan pemerintah.

Perlu pemerintah dan lembaga pendidikan mengambil inisiatif dalam mengembangkan kurikulum sejarah yang adaptif, dengan ruang partisipatif yang luas. Sejarah tidak hanya dimiliki oleh negara, tetapi juga oleh masyarakat. Ulama yang dahulu menjadi milik rakyat, kini harus diangkat kembali oleh rakyat melalui teknologi rakyat.

Jika mampu menjadikan sejarah sebagai bagian dari gaya hidup digital generasi muda, maka narasi perjuangan ulama tidak akan punah. Justru, akan tumbuh sebagai inspirasi baru yang menumbuhkan nasionalisme yang membumi (tidak tercerabut dari akar spiritual dan budaya bangsa).

Menyusun Ulang Ingatan Kolektif Bangsa

Perlu diketahui, peran ulama dalam berjuang kemerdekaan bukanlah soal nostalgia, tetapi merupakan keharusan sejarah. Sejarah yang utuh akan melahirkan kebangsaan yang kuat, adil, dan berkeadaban. Tanpa itu, perayaan kemerdekaan hanya menjadi ritual kosong, tanpa makna mendalam.

Saat ini pemerintah sedang mengerjakan proyek penulisan ulang sejarah Indonesia. Menteri Budaya (Menbud), Fadli Zon, mengatakan bahwa sudah terlalu lama tidak ada pembaruan dalam sejarah Indonesia, sehingga proyek itu menjadi program prioritasnya sejak awal menjabat.

Dengan demikian, Pengurus Besar NU (PBNU) menginginkan agar peran ulama dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, masuk ke dalam penulisan ulang sejarah Indonesia. Karena peran ulama dalam memperjuangkan kemerdekaan ini, belum banyak tertulis dalam narasi sejarah atau historiografi nasional Indonesia.

Komunikasi publik yang baik harus bisa mengangkat semua lapisan tokoh sejarah secara proposional. Ulama sebagai bagian dari pilar kemerdekaan tidak boleh terus-menerus terpinggirkan. Peran mereka harus disampaikan ulang, dengan bahasa yang baru, media yang baru, dan semangat yang baru.

Menggabungkan kreativitas dan teknologi, kita dapat membuka jalan bagi masyarakat, khususnya generasi muda, untuk mengenal tokoh-tokoh ulama yang berjasa. Ini bukan soal glorifikasi, tetapi pengakuan sejarah yang layak mereka dapatkan.

Indonesia adalah bangsa besar dengan sejarah yang majemuk. Kita tidak bisa membangun rasa depan hanya dengan setengah cerita. Saatnya memperluas narasi, menghidupkan ingatan, dan merayakan keberagaman tokoh kemerdekaan yang sesungguhnya.

Sebab kemerdekaan ini, lagi-lagi bukan hanya milik mereka yang membawa senjata, tetapi juga milik mereka yang membawa doa, ilmu, dan nilai-nilai kebenaran. Dan di antara mereka, ulama berdiri teguh sebagai penjaga moral bangsa.

Penulis: Ahmad Rifa’i, Direktur Media, Teknologi, Riset, dan Komunikasi Publik BEM PTNU Se-Nusantara

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *