Suara derasnya sungai menyambut ketika sampai di parkiran kendaraan. Titik akhir dimana kendaraan sampai menuju Pesantren Benda Kerep. Setelahnya, berjalan menyeberang sungai tanpa jembatan.
Pesantren Benda Kerep didirikan oleh KH. Sholeh, seorang keturunan Keraton Cirebon, pada tahun 1826. KH. Sholeh seangkatan dengan KH. Hasyim Asyari, pendiri organisasi Nahdhatul Ulama (NU). Benda Kerep berasal dari kata pohon “Benda”, sejenis Sukun dan Kerep artinya rapat. Wilayah Benda Kerep dahulunya dipenuhi pepohonan dan pohon benda yang rapat (bahasa Jawa: Kerep).
Area yang sekarang menjadi pesantren Benda Kerep, dulunya bernama kampung Cimeuweuh. Dalam bahasa sunda artinya menghilang. Konon, setiap yang datang ke kampung ini akan menghilang.Secara administrasi, Pesantren Benda Kerep masuk wilayah Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon. Sekitar 12 kilometer ke arah selatan dari pusat Kota Cirebon.
Rimbun pepohonan, tanpa suara bising kendaraan, televisi, atau pengeras suara, menyambut kedatangan pengunjung yang datang. Hanya suara santri yang sedang melafalkan nadzom dan bacaan Al-Qur’an. Sesekali terdengar tabuhan rebana diiringi sholawat.
Di tengah perkembangan teknologi, Benda Kerep tetap mempertahankan wasiat para leluluhurnya. Seperti tidak membangun jembatan yang menjadi akses utama ke Benda Kerep.
“Ada wasiat dari Mbah Sholeh, kalo yang dari selatan jangan dibangun jembatan,” ucap KH. Miftah.
Santri dan warga sekitar, jika mau masuk atau keluar Benda Kerep harus turun ke sungai yang sudah dilengkapi bentangan tali baja sebagai pegangan pengaman.
Selain itu, sarungan dan kopiah menjadi atribut wajib saat melakukan ibadah. Pengunjung yang kedapatan memakai celana saat beribadah, akan diminta untuk memakai sarung yang sudah disediakan.
Di Benda Kerep juga tidak menggunakan pengeras suara untuk panggilan adzan atau pengajian. Hanya bedug dan kentungan sebagai tanda untuk memberitahukan waktu sholat telah tiba.
Secara kurikulum pengajaran, Benda Kerep masih mengajarkan khas pesantren tradisional salafiyah. Kajian kitab kuning klasik menjadi santapan para santri. Saat ini, santri yang belajar di Benda Kerep sekitar 300 jiwa.
“Seperti nahwu sorof, menjadi pengajaran kami. Bulan puasa ini kita ada pasaran kitab Bulughul Maram,” jelas Kyai Miftah yang juga Rois Syuriah PCNU Kota Cirebon ini.
Saat pencoblosan suara 14 Februari kemarin, terdapat 4 TPS di area Benda Kerep. Pada umumnya, di TPS menggunakan tinta berwarna ungu. Di Benda Kerep tidak. Dari 4 TPS, tiga diantaranya menggunakan tinta dari kunyit. Alasannya, warga khawatir menghalangi pori-pori kulit dan mengganggu keabsahan wudhu.
Menurut KH. Miftah, tradisi tersebut sudah berlangsung dari tahun 2000 (pasca reformasi). Ia tidak melarang warga untuk untuk menggunakan tinta dari KPU. Bagi warga yang khawatir, tinta dari kunyit menjadi jalan tengah.
“Segala sesuatu yang pertamanya baik, kesana nya akan juga baik,” jelasnya.