Reklamasi di Indonesia kembali menjadi sorotan tajam, terutama setelah beredarnya peta yang menggambarkan rencana besar-besaran proyek ini di hampir seluruh wilayah nusantara.
Isu ini tidak hanya melibatkan aspek lingkungan, tetapi juga persoalan hukum, sosial-ekonomi, dan kedaulatan negara. Reklamasi menjadi narasi pembangunan yang sarat masalah.
Proyek reklamasi, yang mencakup area mencapai 53.575,66 hektare di berbagai lokasi strategis seperti Teluk Jakarta, Teluk Kupang, dan Pantai Utara Makassar, sering kali dipromosikan sebagai langkah untuk pembangunan ekonomi. Namun, realitasnya menunjukkan sederet pelanggaran konstitusi dan dampak destruktif.

Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan pengelolaan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat, tetapi praktik reklamasi kerap melanggar prinsip ini. Salah satu contohnya adalah pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) atas area laut kepada korporasi, seperti yang terjadi di Teluk Jakarta.
Proyek ini tidak hanya meminggirkan masyarakat pesisir, tetapi juga mengubah laut menjadi lahan eksklusif bagi kalangan elit. Bertentangan dengan semangat konstitusi.
Di Teluk Jakarta, reklamasi menyebabkan 25.000 nelayan kehilangan akses ke wilayah tangkap, dengan pendapatan mereka turun hingga 60%. Selain itu, kawasan hasil reklamasi menjadi area eksklusif dengan harga properti mencapai Rp 100 juta per meter persegi. Hal itu menciptakan jurang kesenjangan sosial yang semakin lebar.
HGB di Laut: Kasus Sidoarjo dan Isu Pagar Laut
Isu serupa mencuat di Sidoarjo, Jawa Timur, di mana terdapat tiga bidang HGB seluas 656 hektare di perairan Desa Segoro Tambak. Penerbitan HGB ini memunculkan kekhawatiran akan dampak lingkungan dan sosial, terutama bagi masyarakat pesisir.
Pada 1995, sempat muncul laporan bahwa wilayah tersebut berpagar material kayu, dugaannya adalah untuk proyek tambak skala besar oleh perusahaan pemilik HGB.
Kepala Kanwil ATR/BPN Jatim, Lampri, membantah keberadaan pagar laut tersebut, meski isu ini tetap memicu polemik. Perdebatan juga menghangat di media sosial, di mana beredar klaim bahwa HGB di laut ini bagian dari grand desain reklamasi nasional yang lebih luas.
Dampak lingkungan dari reklamasi berskala besar seperti ini sangat serius. Penelitian LIPI mengungkapkan bahwa reklamasi di Teluk Jakarta telah menyebabkan hilangnya 60% terumbu karang dan 70% hutan mangrove. Dampaknya tidak hanya terbatas pada ekosistem laut, tetapi juga meningkatkan risiko banjir rob hingga 40%.
Di wilayah Kepulauan Riau, pengerukan pasir untuk reklamasi menyebabkan abrasi serius pada pulau-pulau kecil, termasuk Pulau Nipah yang kehilangan 60% luasnya. Kerusakan ini tidak hanya mengancam ekosistem, tetapi juga memengaruhi kedaulatan Indonesia di perbatasan.
Reklamasi dan Korupsi
Proyek reklamasi sering menjadi lahan subur bagi praktik korupsi. Investigasi oleh KPK dan BPK mengungkap adanya aliran dana mencurigakan senilai Rp 50 triliun terkait proyek ini. Modus yang kerap ditemukan termasuk manipulasi dokumen AMDAL, suap perizinan, dan mark-up biaya material hingga 300%.
Polemik reklamasi di Indonesia menunjukkan perlunya regulasi yang lebih kuat, pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, dan pengawasan yang transparan.
Peta reklamasi nasional yang beredar menjadi pengingat bahwa pembangunan tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan masyarakat, lingkungan, dan kedaulatan negara.
Sebagai negara kepulauan dengan kekayaan laut yang melimpah, Indonesia harus memastikan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dilakukan secara berkelanjutan dan adil.
Reklamasi bukan hanya soal pembangunan fisik, tetapi juga soal menjaga harmoni antara manusia, alam, dan kedaulatan bangsa.(Sin/Clue)
Baca juga : https://cluetoday.com/demokrasi-substantif-sudahkah-manusia-bebas-dan-mendapat-keadilan/
Follow instagram kami : https://www.instagram.com/cluetoday_?igsh=MWU2aHg0a3g2dHlvdg==