Oleh : Vira Anizar

Dalam ranah politik, makanan tak hanya dianggap sebagai kebutuhan pokok semata. Melainkan juga diakui sebagai alat yang efektif untuk membangun hubungan antar negara, mendorong kerja sama, dan bahkan mencapai perdamaian.

Konsep ini, dikenal sebagai “culinary diplomacy” atau diplomasi kuliner. Pendekatan diplomasi ini memandang interaksi informal di sekitar meja makan sebagai elemen integral dari strategi politik.

Presiden Joko Widodo, atau Jokowi, dikenal dengan pendekatan “Diplomasi Meja Makan”. Langkahnya mencerminkan usaha dalam membangun hubungan bilateral, mencapai perdamaian, dan mempromosikan daya tarik positif melalui pertemuan santai di sekitar hidangan. Makanan dianggap lebih dari sekadar kebutuhan dasar, tetapi sebagai alat yang efektif untuk menjalin hubungan antarnegara.

Dalam konteks diplomasi kuliner, terdapat tiga kategori utama. Pertama, jamuan makan antar pemerintah (Track I Culinary Diplomacy), kedua, upaya membangun citra positif di luar negeri dengan mempromosikan perdagangan dan pariwisata serta mendorong pertukaran budaya (Gastrodiplomacy), dan ketiga, pertemuan antara pemerintah dengan warga negara (Citizen Culinary Diplomacy).

Sebagai respons terhadap isu ketidaknetralannya dalam Pilpres 2024, Presiden Jokowi secara strategis mengadopsi pendekatan “politik meja makan.” Pada penghujung Oktober 2023, Jokowi mengundang ketiga bakal calon presiden untuk makan siang, sebuah langkah yang diambil untuk meredam kontroversi tersebut.

Selanjutnya, pada pekan pertama Januari 2024, Jokowi terlihat bersantap makan malam bersama Prabowo Subianto, dan yang terbaru, keduanya juga berkumpul dalam makan siang di Magelang, disertai oleh sejumlah influencer pendukung capres nomor urut 2.

Penting untuk diingat bahwa makanan, sebagai media universal, dapat menjadi sarana dalam pergaulan untuk lebih mengenal satu sama lain. Makanan tidak hanya mengisi perut, tetapi juga mendekatkan orang dari berbagai latar belakang, termasuk kalangan politik, bisnis, dan masyarakat umum. Keberhasilan Obama dan Medvedev dalam menyelesaikan perundingan soal pelucutan nuklir di tengah perjamuan makanan adalah ilustrasi konkret dari potensi efektivitas diplomasi kuliner.

Di Indonesia, pertemuan di atas meja makan dapat dianggap sebagai responsif terhadap gejolak politik dan sebagai upaya menjaga stabilitas politik di dalam negeri. Dengan memanfaatkan pendekatan ini, Jokowi tidak hanya menunjukkan keterampilannya dalam aspek formal politik, tetapi juga dalam menggabungkan elemen informal untuk mencapai tujuan politiknya.(clue)

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *