Rahayu Saraswati Mundur dari DPR RI: Blunder Komunikasi dan Strategi Politik Gerindra

JAKARTA — Keputusan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo atau Sara untuk mengundurkan diri dari DPR RI periode 2024–2029 bukan hanya soal pribadi, tapi juga cermin rapuhnya komunikasi politik di era digital.

Politisi muda Partai Gerindra sekaligus keponakan Presiden Prabowo Subianto itu memilih mundur setelah cuplikan video podcast lamanya viral dan menuai kecaman publik.

Langkah ini dianggap mengejutkan sekaligus strategis: mengejutkan karena Sara adalah figur potensial partai, dan strategis karena bisa meredam badai opini negatif yang berpotensi merembet ke citra Gerindra dan pemerintah.

Blunder Komunikasi yang Berujung Krisis

Sara menjelaskan, video yang ia rekam pada Februari 2025 tentang pentingnya kreativitas dan wirausaha bagi anak muda telah dipotong dan dipelintir saat diviralkan pada Agustus lalu. Alih-alih dianggap motivatif, ucapannya justru dipersepsikan merendahkan perjuangan masyarakat yang sedang kesulitan ekonomi.

“Saya menyadari kata-kata saya bisa menyakiti banyak orang. Saya meminta maaf dan memilih mundur sebagai bentuk tanggung jawab,” kata Sara dalam pernyataan resminya di Instagram, Rabu (10/9).

Pengamat komunikasi politik Universitas Indonesia, Dr. Ade Armando, menilai kasus Sara adalah contoh klasik krisis komunikasi digital.

“Sekali viral dengan framing negatif, sulit sekali mengendalikan narasi. Mundur adalah pilihan rasional, karena mempertahankan posisi justru bisa jadi beban politik bagi partai,” ujarnya.

Manuver Gerindra: Damage Control atau Persiapan Posisi Baru?

Fraksi Gerindra di DPR menyatakan menghormati keputusan Sara. Ketua Fraksi Gerindra, Ahmad Muzani, bahkan mengaku kaget.

“Beliau aktif di dapil, rajin turun ke masyarakat, dan sedang menuntaskan RUU Kepariwisataan. Tapi kami hargai keputusan pribadi itu,” ucapnya.

Namun, isu lain langsung mengemuka: benarkah mundurnya Sara hanya langkah damage control, atau ada skenario politik lebih besar?

Spekulasi liar menyebut Sara diproyeksikan masuk kabinet Prabowo. Gerindra buru-buru membantah.
“Mengaitkan mundurnya Sara dengan kursi menteri itu terlalu jauh,” kata Sekjen Gerindra, Ahmad Muzani.

Pesan Politik: Mundur sebagai Simbol Etika?

Di tengah iklim politik yang sering abai pada etika, mundurnya Sara bisa dibaca sebagai pesan politik baru: bahwa citra dan opini publik kini punya daya paksa setara dengan mekanisme hukum.

“Ini preseden menarik. Jarang politisi mundur karena diserang opini publik. Gerindra bisa memanfaatkannya untuk menunjukkan partai ini berani koreksi diri,” kata analis politik Adi Prayitno.

Selain itu, Sara meminta waktu untuk menuntaskan satu tugas terakhirnya di DPR: mengawal RUU Kepariwisataan. Setelah itu, kursinya di DPR akan digantikan oleh caleg Gerindra berikutnya berdasarkan aturan PAW (Pergantian Antar Waktu).

Pertanyaan yang tersisa: apakah pengunduran diri ini benar-benar akhir perjalanan politik Sara, atau justru awal dari babak baru—mungkin di eksekutif, atau bahkan posisi strategis lain di pemerintahan Prabowo?

Pengunduran diri Sara tidak bisa dibaca sekadar drama personal. Ia adalah potret rapuhnya politisi muda menghadapi arus opini digital, sekaligus ujian bagi Gerindra untuk menjaga citra partai di tengah sorotan publik. (clue)

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *