Satu Abad Menjaga Warisan: Sejarah dan Eksistensi Aliran Kebatinan “PERJALANAN”

Di tengah deru perubahan zaman, Aliran Kebatinan “PERJALANAN” (AKP) membuktikan eksistensinya yang kokoh selama hampir satu abad. 

Peringatan Hari Ulang Tahun ke-98 yang diselenggarakan di Gedung Pasewakan Kerta Tataning Hirup Linuwih, Kabupaten Bandung pada 16-17 September 2025, menjadi sebuah monumen hidup dari perjalanan panjang mereka dalam merawat spiritualitas dan kebudayaan bangsa.

Perayaan ini bukan sekadar seremoni, melainkan sebuah penegasan identitas dan cerminan sejarah yang terus diwariskan.

Akar Sejarah: Wangsit di Tepi Sungai Cileuleuy

Eksistensi Aliran Kebatinan “PERJALANAN” tidak bisa dilepaskan dari peristiwa historis yang menjadi fondasinya. Dalam salah satu puncak acara peringatan HUT ke-98, sebuah reka ulang (reenactment) yang penuh penjiwaan ditampilkan, mengisahkan kembali momen krusial ketika sang pendiri, Mama Mei Kartawinata, menerima wangsit atau Ilham Suci di Walungan Cileuleuy, Desa Cimerta, Kabupaten Subang. 

Peristiwa inilah yang menjadi titik awal dari ajaran dan perjalanan spiritual organisasi ini. Reka ulang yang diiringi nyanyian syahdu tersebut berhasil membawa para hadirin menyelami kedalaman sejarah dan memahami akar spiritualitas yang hingga kini terus dijaga.

Filosofi dasar ajaran mereka juga tergambar dalam pagelaran “Swaralaya Patanjala”. Dian Pratama, selaku Ketua Panitia, menjelaskan makna di baliknya, “SWARALAYA PATANJALA adalah kisah perjalanan manusia yang mendengarkan bunyi dari dalam dirinya, bunyi yang menceritakan tentang Perjalanan Air… dari Samudra, memberi kehidupan, mengalir melalui sungai, dan pada akhirnya menuju kembali ke muara, kembali kepada asal usulnya.” 

Filosofi ini mencerminkan pandangan mereka tentang siklus kehidupan dan tujuan akhir manusia untuk kembali kepada Yang Maha Esa, sebuah ajaran inti yang telah dipertahankan selama 98 tahun.

Eksistensi di Masa Kini: Dari Tradisi Hingga Pendidikan Formal

Memasuki usianya yang ke-98, “PERJALANAN” menunjukkan kemampuannya untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang dan beradaptasi. 

Eksistensi mereka hari ini ditopang oleh dua pilar utama: pelestarian tradisi yang hidup di tengah masyarakat dan inovasi dalam pendidikan formal.

Perayaan HUT yang berlangsung selama dua hari menjadi bukti nyata bagaimana tradisi ini hidup. Hari pertama diisi dengan arak-arakan meriah yang menampilkan dongdang hasil bumi, menunjukkan kedekatan mereka dengan siklus alam dan masyarakat agraris. 

Antusiasme warga sekitar dalam karnaval dan hiburan bajidoran menegaskan bahwa “PERJALANAN” adalah bagian tak terpisahkan dari denyut kehidupan sosial dan budaya lokal.

Di sisi lain, mereka juga menatap masa depan dengan langkah strategis. Dalam sambutannya, Dr. Ir. Andri Hernandi, S.T., M.T., Presidium Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI), mengumumkan sebuah terobosan penting. 

“Sekarang kami menyediakan beasiswa yang Bernama Tunas Aliran Kebatinan Perjalanan,” ujarnya, dalam keterangan tertulis (17/09/25). 

Beasiswa ini secara khusus menunjang para pelajar dari aliran kepercayaan, terutama mahasiswa yang kini dapat menempuh pendidikan di Universitas Semarang pada jurusan khusus Aliran Kebatinan Perjalanan untuk meraih gelar Sarjana Kepercayaan.

Langkah ini adalah sebuah adaptasi modern yang krusial. Dengan adanya jalur pendidikan formal, regenerasi dan pemenuhan kebutuhan tenaga pendidik kepercayaan di masa depan dapat terjamin. 

Ini menunjukkan bahwa eksistensi “PERJALANAN” tidak lagi hanya bergantung pada pewarisan lisan dari sesepuh ke generasi muda, tetapi juga diperkuat melalui jalur akademis yang diakui negara.

Menuju Satu Abad: Penjaga Jati Diri Bangsa

Dengan tema “MENINGKATKAN KUALITAS DIRI DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN DENGAN BERPEGANG TEGUH PADA PANCASILA DAN UUD 1945”, perayaan ini menjadi momentum refleksi. 

Aliran Kebatinan “PERJALANAN” secara konsisten memposisikan diri sebagai penjaga nilai-nilai luhur bangsa. Rangkaian acara yang menyertakan pembacaan teks Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 menegaskan komitmen kebangsaan mereka.

Di usia yang mendekati satu abad, Aliran Kebatinan “PERJALANAN” telah membuktikan daya hidupnya. 

Mereka berhasil merawat akar sejarah yang berasal dari wangsit di Subang, menghidupkan tradisi dalam kebersamaan komunal, dan secara cerdas beradaptasi dengan tuntutan zaman melalui pendidikan formal. 

Perjalanan mereka adalah cerminan bagaimana kearifan lokal dapat terus relevan dan memberi sumbangsih bagi penguatan jati diri bangsa dalam menyongsong Indonesia Emas.

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *