Sejarah Perayaan Imlek di Indonesia: Dari Larangan Hingga Jadi Libur Nasional

Foto : Freepik.com

Imlek atau Tahun Baru Cina, bukan hanya sekadar perayaan tahun baru bagi masyarakat Tionghoa. Tetapi juga momen penting dalam agama Konghucu. Tradisi merayakan Imlek di Indonesia sudah berlangsung lama, bahkan sejak kedatangan masyarakat Tionghoa ke Nusantara ribuan tahun lalu.

Seiring berjalannya waktu, tradisi ini semakin berkembang di tengah masyarakat Indonesia.

Namun, perjalanan perayaan Imlek di Indonesia tidak selalu mulus. Meskipun sudah ada sejak lama, ada masa perayaan ini terlarang.

Awal Mula Perayaan Imlek di Indonesia

Perayaan Imlek pertama kali diakui secara resmi oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1946, setahun setelah proklamasi kemerdekaan.

Presiden Soekarno melalui Penetapan Pemerintah No.2/OEM-1946 menetapkan bahwa Imlek menjadi salah satu hari raya negara.

Selain Imlek, ada juga hari-hari keagamaan Tionghoa lainnya, seperti Ceng Beng dan hari wafatnya Konghucu juga ada dalam regulasi tersebut.

Imlek Dilarang di Era Orde Baru

Namun, 21 tahun kemudian, situasi berubah drastis. Pada tahun 1967, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No.14/1967 yang membatasi praktik agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa.

Instruksi ini melarang perayaan Imlek dan upacara keagamaan lainnya berlangsung secara terbuka, sehingga masyarakat Tionghoa hanya bisa merayakannya di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Larangan ini berlangsung selama 32 tahun.

Peran Gus Dur dalam Perayaan Imlek Terbuka

Gusdur dalam Busana China

Setelah lebih dari tiga dekade, perubahan besar terjadi pada tahun 2000 melalui kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Gus Dur mencabut Inpres No.14/1967 dengan Keputusan Presiden No.6/2000, yang memberi kebebasan bagi umat Tionghoa untuk merayakan Imlek secara terbuka, termasuk perayaan Cap Go Meh dan hari raya lainnya.

Langkah ini tidak hanya mencerminkan kebijakan inklusif, tetapi juga menunjukkan prinsip kebangsaan perjuangan Gus Dur. Ia menekankan bahwa pemisahan antara pribumi dan non-pribumi adalah kekeliruan, mengingat bangsa Indonesia terbentuk atas kontribusi berbagai kelompok, termasuk masyarakat Tionghoa.

Bahkan, Gus Dur menyebut ia memiliki keturunan Cina-Arab.

Tidak hanya membebaskan perayaan Imlek, Gus Dur juga menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional fakultatif pada tahun 2001 melalui Keputusan Menteri Agama No.13/2001.

Penetapan ini menunjukkan kesadaran Gus Dur akan pentingnya maqasid syariah (tujuan syariat) yang berfokus pada kemanusiaan, seperti kata Abdul Aziz Wahid dari Abdurrahman Wahid Centre for Peace and Humanities (AWCPH).

Gus Dur juga memahami hubungan historis panjang antara masyarakat Tionghoa dengan Nusantara. Kontribusi masyarakat Tionghoa di bidang ekonomi dan perdagangan menjadi salah satu pertimbangan besar dalam menetapkan kebijakan ini.

Langkah revolusioner Gus Dur mendapat pengakuan dari masyarakat Tionghoa, yang memberinya gelar “Bapak Tionghoa” pada 10 Maret 2004 di Klenteng Tay Kek Sie, Semarang.

Imlek Menjadi Libur Nasional

Setelah Keppres 2000, perayaan Imlek resmi menjadi hari libur nasional pada tahun 2002 melalui Keppres No.19 Tahun 2002. Sejak saat itu, Imlek tidak hanya menjadi momen penting bagi komunitas Tionghoa tetapi juga bagian dari keragaman budaya yang dihormati oleh masyarakat Indonesia.

Dengan perjalanan panjang ini, perayaan Imlek kini menjadi simbol keberagaman yang memperkuat persatuan di tanah air. Keputusan Gus Dur untuk mencabut larangan Imlek dan memberikan kebebasan kepada masyarakat Tionghoa telah menjadi tonggak penting dalam sejarah bangsa Indonesia.(Clue)

Baca juga : https://cluetoday.com/jepang-beri-suntikan-dana-rp-862-triliun-untuk-pelabuhan-patimban/

Follow Instagram kami : https://www.instagram.com/cluetoday_?igsh=MWU2aHg0a3g2dHlvdg==

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *