Stop! Normalisasi Perkawinan Anak Dengan Dalih Agama

Oleh : Fitriyatun Nisa (Founder Obrolan Gender)

Kasus perkawinan anak di Indonesia sudah menjadi fenomena gunung es yang tak dapat terbantahkan, bahkan di sebagian daerah perkawinan anak menjadi peristiwa yang wajar dan telah dinormalisasi.

Data Kunci Tahun 2022 tentang Pencatatan Perkawinan, Prevalensi Perkawinan Anak dan Dispensasi Perkawinan yang diajukan ke Pengadilan Indonesia (AIPJ2, 2023). Mencatat terdapat 330.000 anak dan remaja menikah setiap tahunnya, 55.000 permohonan dispensasi kawin ke pengadilan dan lebih dari 275.000 perkawinan anak dan remaja setiap tahunnya tidak dicatatkan.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghentikan perkawinan anak. Dari edukasi, sosialisasi bahkan aturan negara yang mengatur perkawinan sudah termaktub dalam  UU No. 16 Tahun 2019 yang di dalamnya mengatur tentang batas Usia kawin. Salah satu faktor besar di beberapa daerah terjadinya perkawinan anak adalah peran agama dan tokoh agama yang meligitimasi perkawinan anak dengan dalih mempertimbangkan mudarat dan maslahat.

Dengan banyaknya dampak buruk yang ada di dalam perkawinan anak, apakah itu bisa disebut maslahat atau justru bahaya?

Di dalam islam ada yang biasa kita kenal dengan maqashid asy-syariah, sebuah kerangka dari khazanah klasik. Dengan kerangka ini, keputusan hasil musyawarah tidak bertumpu pada suatu teks secara atomik, melainkan dalam kerangka utuh dan holistik dari ajaran dan hukum islam. Kata maqashid adalah bentuk jamak dari kata maqshad (dalam bahasa arab), yang berarti tujuan.

Secara bahasa, maqashid asy-syariah berarti tujuan-tujuan dari syariah islam. Maqashid asy-syariah mengerucut pada konsep al-kulliyat al-khams (prinsip yang lima) sebagai kerangka dalam memahami dan memutuskan hukum islam. Lima prinsip yang dimaksud adalah perlindungan jiwa (hifzh an-nafs), akal (hifzh al-‘aql), harta (hifzh al-mal), keluarga (hifzh an – nasl) atau kehormatan (hifzh al-‘ird), dan agama (hifzh ad-din).

Dalam konteks perkawinan anak, dimana ia secara fisik dan psikis belum cukup matang untuk membangun sebuah keluarga. Banyak dampak buruk yang sangat mungkin terjadi pada perkawinan anak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kehamilan dengan resiko tinggi, kematian ibu, bahkan perceraian. Dampak buruk perkawinan anak mencakup segala aspek kehidupan, aspek kesehatan, pendidik, sosial, politik, ekonomi. Jika anak-anak melahirkan anak, tentunya belum bisa menjadi orang tua yang bertanggung jawab dan bijaksana. Dan hal itu semua sangat bertentangan dengan prinsip maqashid asy-syariah atau tujuan-tujuan dasar syariat islam.

Oleh karena itu, peran agama dan tokoh agama juga menjadi juru kunci dalam usaha menolak perkawinan anak, karena perkawinan anak lebih banyak membawa kemudaratan dibanding kemaslahatannya. Orang tua, tokoh agama, negara, dan masyarakat berhak ikut andil dalam pencegahan perkawinan anak. Karena perkawinan anak adalah bentuk kekerasan yang komplit (Fisik, psikis, seksual dan sosial), dan setiap manusia memiliki hak untuk terbebas dari semua bentuk kekerasan.(clue)

By Redaksi

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *