Terparah dalam 1 Dekade, Alih Fungsi Lahan Jadi Penyebab Bencana di Sukabumi

“Betul, bencana banjir ini terparah dalam 10 tahun terakhir. Kenapa? Karena sudah banyak alih fungsi lahan,” ungkap Anne, Plh Kepala Pelaksana BPBD Jawa Barat.

Awal bulan Desember, Sukabumi digemparkan dengan bencana banjir bandang. Sebanyak kurang lebih 20 Kecamatan di Sukabumi pun hanyut tergerus air. Hujan lebat terjadi pada 3 hingga 4 Desember. Mulanya, BMKG menyimpulkan bahwa cuaca ekstrem menjadi penyebab musibah tersebut.

Bencana tidak usai dalam dua hari dan banjir pun meluas hingga ke 30 kecamatan di Sukabumi. Sekertaris Daerah (Sekda) Sukabumi, Ade Suryaman menyebutkan status tanggap darurat bencana telah diperpanjang hingga 17 Desember mendatang.

Hingga (10/12/2024), BPBD merilis dampak kerusakan baik rumah maupun bangunan fasilitas publik lainnya. Rusak Berat tercatat 1.428, Rusak Sedang 1.201 unit dan Rusak Ringan 1.272 unit. Rumah terancam 653 unit, serta rumah terendam 1.169 unit.

Sampai Kamis (12/12/2024) Bencana tersebut bahkan telah menelan 10 korban jiwa, satu diantaranya adalah anggota polsek Lengkong Polres Sukabumi yang gugur dalam proses penanganan bencana. Korban mengungsi ada sebanyak 4.653KK/13.449 jiwa dan korban terancam 620 KK/1.655 jiwa.

Apakah bencana tersebut terjadi hanya karena cuaca ekstrem?

Banjir yang dialami Sukabumi merupakan bencana banjir terparah sejak 1 dekade terakhir. Hal itu diungkapkan oleh Anne Hermadianne, Plh Kepala Pelaksana (Kalak) BPBD Jawa Barat pada Jumat (6/12/2024).

“Betul, bencana banjir ini terparah dalam 10 tahun terakhir. Kenapa? Karena sudah banyak alih fungsi lahan,” ungkap Anne dikutip dari Kompas.

Bukan hanya banjir, pergeseran tanah juga kian terjadi di Sukabumi. Hal itu berhasil memperburuk keadaan dan menambah daftar panjang rusaknya infrastruktur.

Pernyataan Anne diperjelas oleh peneliti senior ITS, Dr. Ir Amien Widodo. Mengutip dari laman resmi ITS, Amien menyebut bahwa pergeseran tanah di Sukabumi disebabkan oleh alih fungsi lahan yang telah terjadi selama puluhan tahun.

Sukabumi bahkan memotong lereng gunung untuk pembangunan jalan, akibatnya stabilitas lereng pun terganggu karena peningkatan sudut lereng gunung.

Tak hanya untuk fasilitas umum, masyarakat juga banyak yang membangun rumah dan membentuk pemukiman di sisi kiri dan kanan jalan. Akibatnya, sudut kemiringan semakin tajam dan memperburuk stabilitas lereng.

Banyaknya rumah dan beratnya bangunan yang ada dilereng tersebut membuat kondisi lereng kritis sehingga memunculkan retakan tanah.

“Inilah yang biasa orang awam sebut sebagai tanah ambles,” tandasnya.

Kondisi tanah kritis tersebut diperparah cuaca ektrem pada awal Desember lalu. Fenomena La Nina yang terjadi menyebabkan peningkatan curah hujan hingga 20 persen.

“Curah hujan yang tinggi seperti ini menjadi pemicu utama terjadinya tanah bergerak,” papar Amien.

Lebih kompleks lagi, tipografi Sukabumi mengalami perubahan signifikan. Dimana, Kawasan yang sebelumnya merupakan daerah resapan air mengalami perubahan akibat aktivitas manusia karena beralih fungsi.

Air hujan yang mengguyur Sukabumi dalam dua hari tidak dapat diserap tanah dan memicu erosi, banjir dan longsor.

“Proses ini mempercepat ketidakstabilan tanah, terutama di wilayah dengan banyak pemotongan bukit,” jelas dosen Departemen Teknik Geofisika ITS tersebut.

Fungsi Lahan Perlu Dikembalikan

Jika sudah seperti ini, maka Sukabumi sudah sepatutnya duduk bersama untuk menanggulangi dan meredakan amarah alam. Fungsi lahan di puncak bukit perlu dikembalikan dan dikonservasi, regulasi tata ruang dan mitigasi bencana harus dibicarakan ulang. Tentunya edukasi masyarakat juga harus memberikan solusi konkret untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang.

Amien menyarankan adanya kolaborasi lintas kementerian untuk menyusun kebijakan yang dapat mencegah kerusakan lingkungan lebih lanjut.

“Ini saatnya berbagai pihak duduk bersama untuk mengatasi masalah ini secara terintegrasi,” tegasnya.

Sebagai pakar mitigasi kebencanaan, Amien juga menyarankan untuk menjaga keseimbangan ekologis dan mengurangi resiko.

“Kita perlu menghitung kembali kapasitas resapan dan aliran air di kawasan tersebut,” ujarnya mengingatkan.

Anne Hermadianne mengatakan bahwa sudah saatnya untuk introspeksi, nyatanya aktivitas ekonomi dan penggubahan fungsi lahan bahkan telah menimbulkan bencana terparah sepanjang sejarah Sukabumi. “Kita kembali introspeksi diri, apakah kita menjaga alam, atau apakah kita mengubah alam kita ini menjadi kegiatan ekonomis yang justru mengubah alam tersebut,” pungkas Anne.(Sin/Clue)

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *