Pilkada serentak yang akan digelar di 415 kabupaten sudah semakin dekat. Situasi panas yang tercipta saat proses kampanye harus disertai dengan kedamaian atau yang sering dideklarasikan dengan tagline “Pemilu Damai”.
Persaingan ketat yang berpotensi pada saling singgung antar paslon memang perlu diwaspadai agar tidak menimbulkan kericuhan. Deklarasi dukungan juga perlu melihat batasan – batasan tertentu. Siapa yang mendukung paslon harus sesuai dengan aturan yang berlaku, dalam hal ini adalah netralitas. Netralitas ASN menjadi salah satu fokus pengawas pemilu.
Tapi bukan hanya itu yang perlu kita waspadai, ada hal lain yang lebih tajam yang bisa mengobrak – abrik demokrasi, yaitu Money Politic atau Politik Uang.
Koordinator Divisi Hukum dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu Subang, Jamal A. R. Kumaunang menyebutkan dari pemetaan Bawaslu, ada dua prioritas pengawasan potensi pelanggaran.
Keduanya adalah potensi pelanggaran netralitas ASN, dan money politic.
“Netralitas ASN, termasuk di dalamnya Kades, TNI/Polri, BUMD bagian yang menjadi fokus pengawasan kami,” kata Jamal.
Jamal menyebutkan satu priroitas dalam pengawasan pelanggaran adalah politik uang.
“Selain netralitas, politik uang menjadi hal yang kita petakan dalam pengawasan prioritas,” imbuhnya.
Politik uang bukan lagi sebatas pada pelanggaran, tapi sudah dapat dikategorikan menjadi kejahatan pilkada yang harus diberantas.
Penegakan hukum terkait praktik politik uang makin tegas diatur dalam Pasal 187A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Dalam aturannya, disebutkan setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia, baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk memengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu.
Dalam peraturan tersebut pelanggaran atau politik uang, sesuai Pasal 73 Ayat (4), akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Bukan hanya para paslon, ketentuan larangan politik uang bagi tim kampanye juga diatur pada pasal Pasal 73 UU Nomor 10 Tahun 2016.
“Calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih.,” bunyi pasal tersebut.
Politik uang akan menyalahi demokrasi, sehingga bukan hanya pelaku yang akan dipidana, tapi juga penerima uang akan ikut diadili seperti yang diatur pada Pasal 187A UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
“Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1),” bunyi aturan tersebut.(Sin/Clue)